Sepertinya, Aku Mencintai Mu


Sepertinya, Aku Mencintai Mu
Ria Vinola Widia Wati
XI AK-5

Chapter One
“Welcome to asrama!! Yippie!!”
Teriak orang di sebelahku penuh semangat dengan memasang wajah yang
begitu sumringah, berlawanan denganku. Dengan langkah malas-malasan aku mengikuti jejaknya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam gedung sembilan lantai itu.
“Selamat siang bu..” Sapa gadis berambut pirang kuncir kuda itu ceria pada seorang wanita berambut hitam yang duduk di balik meja di lobby asrama itu.
“Siang..” jawab wanita itu ramah.
“Perkenalkan. Saya Gissel dan ini teman saya Piano.” Aku hanya mengangguk pada wanita itu ketika Gisell, sahabatku, menyebut namaku.
“Kami siswa baru di sini. Kami ingin tahu kami berada di kamar nomor berapa. Ohiya, sekalian lantainya juga ya bu. Pasti akan lumayan sekali jika ternyata kami mendapat lantai sembilan di gedung ini.” cerocos Gissel
“Siswa baru di sekolah ini pasti ditempatkan di lantai tujuh atau delapan dan sedikit di lantai enam. Hanya siswa lama yang mendapat kamar di lantai dua sampai enam. Lantai sembilan digunakan sebagai aula. Dan lantai satu seperti yang kau lihat, ada lobby, resepsionis, mini market, laundry, warnet, foto copy, dan kantin kecil.” kataku kemudian
“Ohya? Benarkah itu Piano? Yaampun.. Diskriminasi sekali mentang-mentang kita murid baru lantas diletakkan di lantai yang tinggi. Pasti cukup lumayan juga karena kita harus naik turun lantai sebanyak ini. Dan kau hebat sekali sudah mengetahui banyak tentang asrama. Aku semangatnya saja yang besar, tapi tak mau membaca buku panduan. Hahaha..”, kata Gissel. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Terkadang Gissel memang malas membaca hal-hal yang sebenarnya penting seperti itu. Dia memang memiliki kebiasaan membaca yang bisa dibilang memprihatinkan.
“Bisa saya lihat kartu identitas kalian?” tanya wanita itu kemudian.
Seperti dikomando, aku dan Gissel segera mengeluarkan kartu identitas dari dompet kami masing-masing. Setelah itu, wanita yang tak lain adalah penjaga asrama wanita itu segera mengecek keberadaan kamar kami dari komputer yang ada di hadapannya.
“Piano Hyuuga berada di kamar 151 dan Gissela Tan berada di kamar 152. Kalian berada di lantai tujuh.”
“Terima kasih bu. Setidaknya lantai tujuh jauh lebih mudah dicapai daripada lantai delapan.” Kata Gissel dengan menyunggikan senyum paling manis miliknya.
“Terima kasih” sahutku juga. Wanita itu hanya membalas dengan senyuman.
Sambil tak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal mengenai sekolah baru yang akan kami tempati, khususnya tentang laki-laki tampan yang ada di sekolah ini (Gissel memang cepat sekali mengetahui keberadaan lelaki tampan. Seolah-olah dia memiliki radar yang berbunyi “beep” setiap ada lelaki tampan di dekatnya), sesekali Gisell juga tampak berdecak kagum memandang interior atau benda-benda yang ada di asrama ini. Dari luar asrama ini memang tampak biasa saja seperti gedung asrama lainnya. Tapi dalamnya sungguh berbeda. Kesan mewah dan mahal seperti hotel berbintang sangat terlihat dari semua hal yang ada di dalam bangunan asrama ini. Ya wajar saja. Sekolah yang kami masuki ini memang sebuah sekolah ternama dan hanya orang-orang ternama pula yang bisa masuk ke dalamnya.
Orang ternama? Ya, hanya orang ternama lah yang bisa masuk di sekolah ini. Pengusaha, pejabat, orang penting, itulah yang ku maksud orang ternama. Ayah Gissel adalah pemilik kebun bunga dan kebun buah-buahan terbesar yang ada di daerahku. Bahkan hasilnya banyak yang diekspor ke Negara lain. Jadi wajar saja jika Gissel bisa masuk yayasan sekolah ini. Sedangkan aku? Aku adalah anak dari keluarga Hyuuga. Keluarga yang dari dulu sudah cukup disegani dan dihormati dengan kekuasaannya. Kakekku dulu adalah seorang pengusaha kaya raya yang banyak membantu perkembangan daerah tempat tinggalku ini. Dan hal itu sekarang diturunkan kepada ayahku. Jadi wajar saja jika aku juga pantas masuk ke sekolah ini.
Tapi menurutku bukan “pantas” lah yang membuatku masuk ke sekolah ini, melainkan “keharusan” yang dibuat ayahku. Inilah keinginan dan perintah beliau. Dan mau tak mau aku harus mematuhinya. Anggap saja ini salah satu usaha yang bisa ku lakukan sebagai cara untuk mengambil hatinya yang cenderung bersikap cuek dan kasar kepadaku. Huuhh.. Membayangkan sikap ayah membuat hatiku sakit.
“Oke Pia.. Kita berpisah disini. Aku harap kita akan bertemu malam nanti untuk datang ke acara penyambutan murid baru.” Kata Gissel memecah lamunanku ketika kami sudah sampai di depan kamarku. Aku hanya mengangguk, sementara dia terus berjalan menuju pintu di sebelah kamarku.
Dengan menenteng sebuah koper, aku masuk ke dalam kamarku. Seperti yang telah ku duga, kamar ini sudah berisi fasilitas lengkap. Begitu masuk, aku disambut oleh satu set sofa empuk berwana putih beserta televisi dan seperangkat audio mahal. Ruangan selanjutnya adalah kamar tidur yang diisi dengan lemari, meja rias, meja belajar, dan sebuah ranjang ukuran sedang. Ruang selanjutnya adalah kamar mandi, dapur kecil, dan satu set meja makan. Tanpa sempat membongkar barang-barangku, aku langsung merebahkan diri di kasur dan terlelap.
Hari ini cukup membuat batinku tersiksa, kataku sebelum aku menutup mataku.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Pia.. Kau sudah siap kan? Ayo kita ke aula. Acara sebentar lagi dimulai. Nanti kita terlambat.” Teriak Gissel dari luar kamarku sambil menggedor pintuku keras-keras. Gisell memang seperti itu, selalu bersemangat menghadiri pesta. “Banyak makanan, gaun cantik, dan lelaki tampan”, jawabnya ketika aku menanyakan alasan mengapa ia suka sekali pergi ke pesta yang penuh orang seperti itu.
Setelah melihat penampilanku sekilas di kaca besar yang ada di meja rias, aku segera beranjak ke pintu. Takut pintu itu lama-lama akan dirusak oleh Gissel yang sudah tak sabar ingin bersenang-senang.
“Akhirnya kau keluar juga, Pia.. Waw, sederhana tapi manis. Aku suka.” Komentarnya ketika melihat penampilanku. Aku mengenakan dress putih sebawah lutut yang memiliki hiasan pita dan bunga biru dipinggangnya ditambah sebuah jepit rambut warna putih sebagai pemanis rambut panjangku yang berwarna biru kehitaman ini.
“Kau juga sangat menarik” pujiku begitu melihat penampilannya yang terkesan glamour dengan gaun hitam tak berlengan ditambah kalung dan anting berlian yang ia kenakan.
“Kalau begitu ayo kita jalan dan menyegarkan mata..”kata Gissel tak sabar sambil menarik tanganku menuju lift.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aula tempat berlangsungnya acara penyambutan siswa baru itu terletak di gedung A, tempat “orang-orang atas” sekolah itu berada. Mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, hingga guru-guru. Aula itu terletak di lantai satu dan cukup besar. Sanggup menampung semua siswa yang ada di sekolah itu. Lobby dan resepsionis juga ada di lantai satu ditambah dengan kantor administrasi. Lantai dua adalah ruangan perpustakaan yang juga cukup luas, lengkap dan nyaman. Selain itu juga ada laboratoium ipa dan bahasa. Lantai tiga adalah ruang guru. Lantai empat adalah ruangan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, juga direktur sekolah karena ini adalah sekolah swasta yang dimiliki oleh sebuah keluarga pengusaha kaya raya. Selanjutnya lantai lima, enam, dan tujuh adalah tempat penyimpanan arsip dan barang-barang milik sekolah.
Aku dan Gissel sampai pukul 19.00 tepat di depan aula. Aulanya lagi-lagi terlihat seperti ballroom hotel berbintang. Sambil melihat-lihat pengunjung dan tempat itu, kami pun masuk. Sudah banyak orang di sana. Ternyata orang-orang disini bisa dibilang cukup tepat waktu.
Sambil berjalan bersisian, kami mencari tempat duduk yang kira-kira dirasakan “pas”. Pas disini ada banyak pengertiannya menurutku dan Gissel. Pas dengan tempat makanan hingga kami tak perlu kehabisan makanan, pas dengan pintu keluar hingga kami tak perlu repot berdesakan jika ingin keluar, pas dengan panggung depan hingga kami masih bisa melihat orang yang berbicara di depan, dan pas dengan strategisnya melihat “pemandangan indah” yang datang ke acara itu (lagi-lagi ini peraturan yang Gissel buat). Akhirnya kami memilih bangku tengah pinggir jalan keenam dari depan. Makanan ada di tengah-tengah aula, pintu keluar ada dibelakangnya, masih terlihat dengan jelas ke arah panggung, dan di seberang kami berkumpul banyak lelaki. “Ini baru pas..” komentar Gissel yang diiringi oleh senyuman khas miliknya.”Dasar Gissel.” kataku pasrah.
Pukul 19.30 acara pun dimulai. Acara ini tidak hanya dihadiri oleh siswa baru saja, tapi juga seluruh siswa kelas XI dan XII yang ada di sekolah ini termasuk semua guru dan petinggi sekolah. Acara diawali dengan tarian pembuka yang dibawakan oleh kakak kelas dari ekstrakulikuler tari. Tarian mereka sungguh memukau. Maklum saja, eskul itu memang banyak menyabet gelar juara dari banyak perlombaan. Selanjutnya dimulailah dengan menyanyikan lagu mars “Konoha School” oleh seluruh hadirin yang datang. Disusul oleh sambutan dari ketua OSIS, perwakilan guru, dan kepala sekolah. Well, dasar anak muda. Ketua OSIS lah yang paling banyak mendapat perhatian. Bahkan banyak yang meneriaki namanya saat ia tengah berbicara. Termasuk Gissel. Matanya daritadi tak lepas dari arah panggung, menatap sosok lelaki ber-jas putih itu yang tengah berpidato. Sementara aku malah asik memainkan handphoneku.
“Piano, lelaki di depan jauh lebih indah daripada handphonemu. Ayo lekas lihat!” seru Gissel tiba-tiba sambil mengambil handphoneku. Dengan malas, aku pun melihat ke arah yang ia perintahkan.
Lelaki itu mengenakan jas dan kemeja putih. Rambutnya coklat, matanya pun coklat. Senyumnya juga bisa dibilang manis. Wajahnya juga sangat tampan seperti apa yang Gissel bilang. Saat sedang menatapnya, DEGH! Tiba-tiba tatapan mata kami bertemu. Dalam hitungan beberapa detik kami sempat berpandangan, bahkan dia sampai menghentikan pidatonya. Karena merasa mulai banyak orang yang mencari “sumber penglihatan” dari lelaki itu, aku segera menunduk. Tak lama kemudian terdengar suaranya yang mulai berpidato kembali. Aku sempat menoleh sekilas ke arahnya, dia tetap menatapku!

Chapter Two
“Piano, kau mengenal Bryan?” tanya Gissel tiba-tiba begitu kami sedang mengantri mengambil makanan.
“Bryan?” aku balik bertanya.
“Ketua OSIS kita. Yang tadi berpidato dan menatapmu..” jawab Gissel dengan memberi tekanan pada kata “berpidato dan menatapmu”. Dari suaranya jelas terdengar nada tak suka. Pasti ia bersikap seperti itu karena ia merasa aku jahat sekali tak bilang-bilang jika berteman dengan lelaki tampan itu.
“Oh, tidak. Aku tidak mengenalnya.” Kataku asal.
“Lalu mengapa ia menatapmu?” tanyanya lagi.
“Entahlah, kalau urusan itu aku tak tahu.” Kataku sambil berjalan menuju sebuah kursi di pojok ruangan dan Gissel mengikutiku dari belakang.
“Kau tidak menyembunyikan apapun dariku kan?” tanyanya penasaran.
“Gissel, kapan aku pernah berbohong padamu? Tadi aku sudah bilang kalau aku tak mengenalnya..” jawabku mulai agak sebal dengan kecurigaan Gissel. Oke, aku memang berbohong pada Gissel –sedikit-. Aku hanya tau dia itu siapa, tapi aku tak mengenalnya karena aku tak pernah  berbicara dan dekat dengannya.
“Baiklah, aku percaya padamu. Lupakan saja. Kita nikmati saja pesta ini. Lagipula kalau kau memang mengenalnya, tentu menjadi keuntunganku juga. Aku jadi bisa berkenalan dengan teman Bryan yang berambut biru itu. Sangat tampan..” kata Gissel kemudian sambil menunjuk rombongan lelaki yang berada di seberang kami.
Aku menarik nafas. Syukurlah Gissel sudah tak banyak bertanya dan sudah kembali ke kebiasaannya.
Aku pun melihat arah yang ditunjuk oleh Gissel. Di sana berdiri empat orang lelaki. Kiba, lelaki tampan berambut biru yang ditaksir Gissel sekarang, lelaki bertubuh gendut, dan lelaki berambut panjang yang dikuncir. Ketika sedang melihat ke arah sana, DEGH! Lagi-lagi tatapanku bertemu dengan tatapan Bryan. Aku buru-buru mengalihkan pandangan dan berbicara pada Gissel yang tengah asik menikmati kue di tangannya.
“Aku ingin ke toilet. Kau mau ikut?” tanyaku
“Ehm, aku menunggu di sini saja..” jawabnya sambil asik mengunyah.
“Baiklah, aku pergi dulu.” Pamitku.
“Jangan lama-lama. Aku tak mau sampai mati kesepian. Kecuali kalau aku bisa berkenalan dengan lelaki tampan. Hehehe..” canda Gissel. Dasar Gissela!
Aku pun segera mencari keberadaan toilet di dalam ruangan itu. Ternyata letaknya agak tersembunyi di pojok sebelah kanan. Setelah selesai aku pun segera keluar. Baru saja aku melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, tiba-tiba suasana menjadi gelap. Lampunya mati! Oh Tuhan..
Sambil berjongkok, aku merapatkan wajahku ke tengah-tengah lutut. Keringatku mulai keluar, nafasku mulai sesak, dan aku mulai panik sampai ingin menangis. Aku fobia gelap. Oh Tuhan.. Tolong aku..
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di depanku. Sambil menyalakan korek, orang itu memegang tanganku.
“Kau baik-baik saja?” tanya orang itu yang ternyata seorang pria.
Tanpa memperhatikan siapa orang itu, aku langsung memeluknya. Aku betul-betul takut dan ingin menangis!
“Gelap.. Takut..” rintihku sambil bersembunyi di dadanya.
“Tenang saja, ada aku di sini. Kau tak perlu takut..”
Lalu tak lama kemudian lampu pun menyala.  Karena masih memejamkan mata, aku sampai tidak sadar. Hingga lelaki itu melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Buka matamu, sudah tidak gelap..”

Perlahan aku mulai membuka mata dan mataku langsung menatap wajahnya yang kini hanya berjarak beberapa cm di hadapanku. Bryan??!
“Aku.. Maaf sudah merepotkanmu.. Terima kasih..” kataku sambil mundur menjauh darinya dan hendak berdiri.
“Sudah merasa lebih baik? Tidak takut lagi?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk.
“Syukurlah.. Yasudah, aku mau kembali ke pesta. Sampai nanti..” katanya sambil beranjak meninggalkanku.
Baru beberapa langkah Kiba pergi meninggalkanku, Gissela muncul. Dia tampak kaget dengan kehadiran Bryan di dekatku, tapi ia buru-buru menghampiriku. Gissel tahu kalau aku memang fobia gelap.
“Piano, kau baik-baik saja?” tanya Gissela panik.
“Aku tidak apa-apa. Hanya mati lampu sebentar kok..” jawabku.
“Tapi wajahmu pucat sekali. Maafkan aku karena tidak menemanimu..”
“Bukan salahmu Gissel..”
“Yasudah, kita kembali ke kamar saja ya. Aku tak mau kau semakin pucat jika memaksakan ikut pesta sampai selesai..”
“Tapi pesta ini bukankah sangat kau harapkan?”
“Temanku lebih penting daripada apapun..”
“Terima kasih, Gissel..”
“Pia, kau seperti bersama siapa saja sampai bilang terima kasih. Kita sudah bersahabat sejak SMP. Jadi sudah kewajibanku untuk membantumu. Ayo kita ke kamarmu..”

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Sambil berbaring di kasur aku memperhatikan Gissel yang tengah asik mematut diri di cermin besar sambil memamerkan seragam baru yang akan kami kenakan besok.
“Kita pasti sangat cantik dengan seragam ini. Seragam ini betul-betul lucu..” katanya.
Gissel lalu meletakkan baju itu di dalam lemari dan kembali menatap cermin besar yang ada di meja rias itu.
“Pia, menurutmu besok rambutku lebih baik ku apakan?” tanyanya sambil menggerai rambut  pirang miliknya dan sesekali mencoba menguncirnya.
“Ehm.. Menurutku karena besok kita masih menjalani masa orientasi jadi ku pikir lebih baik di kuncir saja supaya tidak repot..” jawabku
“Betul juga ya..” katanya sambil mempraktekkan kuncir kudanya.
“Ohya, tadi kau bersama Bryan saat mati lampu?” tanyanya tiba-tiba.
“Ehm.. Iya..”
“Kok bisa?” tanyanya mulai penasaran sambil duduk di sebelahku.
“Ya kau tau sendiri aku seperti apa kalau mati lampu. Saat aku panik, tiba-tiba dia datang dan aku langsung..” aku menghentikan kalimatku untuk memakai kata yang pas selain “memeluknya”.
“Langsung apa?” tanyanya penasaran.
“Aku langsung.. Menghambur ke arahnya.”
“Kau memeluknya?” tanyanya lagi
Aku mengangguk.
“Ya Tuhan, lalu bagaimana?”
“Dia menenangkanku dan aku terus bersembunyi di dadanya sampai lampu menyala..” ceritaku.
“Pia, dia lelaki pertama yang kau peluk ya?” tanyanya usil.
Aku tak langsung menjawab, tapi wajahku yang memerah langsung menjawabnya. Tiba-tiba Gissel tertawa.
“Kenapa kau tertawa? Aku salah berbicara?” tanyaku.
“Hahaha.. Kau polos sekali. Yasudah aku akan membantumu untuk mendapatkannya. Bagaimana? Sepertinya dia juga menyukaimu..” ledek Gissel.
“Kau ini  bicara apa?!” kataku sewot.
“Cinta pertama di awal masuk SMA.. Ahh, indah sekali..” ledek Gissel lagi.
“Uhh, kau ini..” kataku sambil memalingkan wajah darinya.
Piano.. Piano.. Sesekali hidupmu harus berwarna dengan adanya cinta, batin Gissel.
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku menatap pantulan tubuhku di cermin. Dengan balutan seragam SMA ini ku harap aku bisa semakin dewasa dan bahagia. Amin.
Setelah merasa siap, aku pun segera keluar kamar dan menghampiri kamar Gissel yang berada di sebelah kamarku. Hari ini hari pertama kami sebagai siswa SMA. Dan semalam kami juga sudah berjanji untuk berangkat ke kelas bersama.
“Ohya, menurutmu kita akan sekelas tidak?” tanya Gissel ketika kami sudah memasuki gedung yang memuat ruang kelas.
“Ku harap iya.” Jawabku.
“Kita buktikan di papan pengumuman itu..” kata Gissel sambil menunjuk papan pengumuman yang sedang dikerubuti banyak orang itu.
“Biar aku saja yang melihat. Kau tunggu di sini..” kata Gissel sambil berusaha masuk kerubutan orang itu. Gissel memang mengerti aku. Dia tak mau aku sampai kehabisan nafas di dalam sana jika memaksakan diri.
Setelah beberapa menit Gissel kembali.
“Pia, sayang sekali kita tidak sekelas. Aku di kelas X.1 dan kau X.2. Tapi tenang saja, kau pasti akan menemukan teman baru yang baik. Lagipula kita tetap masih bisa bersama di waktu istirahat, pulang, dan di asrama. Jadi jangan takut ya..” kata Gissel seolah mengerti ketakutanku jika nanti tidak memiliki teman sepertinya.
Aku mengangguk. Aku pasti bisa! Kataku pada diri sendiri.
“Yasudah, ayo kita ke kelas. Sebentar lagi bel akan berbunyi.”
“Baik..”
Hari ini hari pertama masuk sekolah. Tapi dua hari ini bukan langsung diisi oleh pelajaran. Melainkan masih dalam tahap orientasi murid baru. Jadi selama dua hari ini, tiap kelas baru akan di masuki oleh beragam ekstrakurikuler yang mempromosikan kegiatan mereka. Selain itu juga diisi oleh beragam materi dan games mengenai kekompakan dan kebersamaan. Juga pengenalan terhadap teman sekelas. Biasanya, setiap kelas baru akan diketuai oleh kakak senior. Dia yang bertanggung jawab atas kelas yang dipegangnya, ya semacam wali kelas.
“Kita berpisah di sini. Semoga harimu menyenangkan. Semoga sukses, Piano..” kata Gissel begitu kami sampai di depan kelasnya.
“Kau juga. Semoga sukses dan menyenangkan..” kataku sebelum aku pergi menuju kelasku.
Kelas X.2
Sambil menarik nafas, aku beranjak masuk ke kelas itu. Ternyata baru beberapa orang yang sudah ada di dalamnya. Sambil menyunggingkan senyum aku menyapa mereka dan memilih tempat duduk favoritku. Pojok jendela, kedua dari belakang. Aku sangat suka duduk di sini. Alasannya simple. Aku bisa menatap pemandangan luar yang bisa menjadi inspirasiku dalam menulis, dan ke dua aku tidak terlalu suka duduk di depan. Menegangkan.
Ohya, berbicara tenang menulis, aku memang sangat suka menulis dan bermain musik. Biasanya aku menulis cerpen, puisi, membuat lagu, atau sekedar berbagi pengalaman di dalam blog. Kalau masalah bermain musik, aku bisa bermain biola dan piano. Sejak kecil aku sudah mengikuti les kedua alat itu. Tapi sejak Ibu tiada, aku jadi malas melanjutkan. Ayahku sebenarnya kurang suka aku bermain musik. Ia lebih suka aku berniat untuk melanjutkan bisnis keluarga. Ohya, aku sebenarnya juga bisa menyanyi. Hanya saja aku tidak menunjukkannya di depan umum. Aku tak suka hasil belajarku dengan ibu sampai di dengar oleh banyak orang. Biar lah menjadi kenangan antara aku dan ibuku yang memang penyanyi itu yang tau.
Lagi asik mendengarkan musik dari ipod yang ku bawa sambil menatap pemandangan dari jendela, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri tempat dudukku.
“Hai, aku boleh duduk di sini ya?” pintanya yang langsung duduk tanpa menunggu persetujuan dariku.
Aku menatap orang disampingku.
Rambutnya pirang acak-acakan. Pakaiannya lecek seolah tidak disetrika. Wajahnya basah oleh keringat. Sadar dirinya sedang ditatap, orang itu langsung menegurku.
“Hei, mau sampai kapan menatapku? Oke, aku tadi kesiangan jadi buru-buru dan tak sempat menyisir rambut. Karena berlari takut terlambat aku jadi sedikit mandi keringat. Lalu masalah baju, aku lupa untuk menyetrikanya. Jadi apa aku tidak layak menjadi teman sebangkumu?” tanyanya
“Ehm.. Bukan seperti itu. Hanya saja ku pikir lebih baik bersama wanita saja..”
“Oke, tapi sayangnya jumlah wanita di kelas ini ganjil. Jadi daripada kau duduk sendiri, lebih baik kau duduk bersamaku. Tenang saja, aku lelaki baik-baik..”
“Ehm.. Baiklah..” kataku pasrah.
“Ohya, aku Billy. Kau siapa?” tanyanya sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Piano” jawabku singkat sambil menjabat tangannya.
“Nama mu unik yah seperti alat musik, Hemm Oke, Piano. Semoga kita bisa menjadi partner yang baik..” katanya sambil menyunggingkan senyum. Aku pun balas tersenyum.
Tak lama kemudian, masuk lah seseorang ke dalam kelas kami. Dia berambut agak gondrong dan di kuncir. Dari wajahnya, ku pikir dia adalah seniorku.
“Selamat pagi..” sapanya sambil tersenyum ramah pada seluruh penghuni kelas kami.
“Selamat pagi, Kak..” balas seluruh kelas
“Oke, sebelumnya saya ucapkan selamat datang di sekolah ini, dan selamat juga sudah memiliki gelar sebagai siswa SMA. Mungkin kalian masih ingat di penyambutan semalam kalau saya adalah salah satu senior penanggung jawab kelas, nama saya adalah Darco Andreas. Saya salah satu pengurus OSIS yang bertugas sebagai penanggung jawab di kelas ini. Jadi mohon kerja samanya ya.. Ohya, hari ini kalian belum belajar. Tapi kalian akan berkenalan lebih jauh dengan teman sekelas kalian, juga dengan beragam organisasi yang ada di sekolah ini. Tapi sebelum kita masuk ke sana, saya ingin kelas ini memiliki susunan kepengurusan kelas dulu. Ada yang berminat mencalonkan diri??” tanyanya kemudian.
Suasana kelas hening. Entah karena memang tidak ada yang mau mencalonkan diri atau karena semua terkesima dengan kewibawaan yang dimiliki oleh senior Darco itu.
“Tak ada yang berminat ya? Baiklah, apa perlu saya menyebut nama-nama dari daftar yang saya pegang ini?” katanya sambil menunjukkan map yang dipegangnya.
“Saya berminat..” tiba-tiba orang disebelahku mengacungkan tangan. Semua mata pun langsung menoleh ke arah  kami, lebih tepatnya ke arah Billy.
“Saya mau mencalonkan diri menjadi ketua kelas. Tapi saya mau  Piano yang menjadi sekretarisnya..” katanya sambil menunjukku tanpa memperdulikan pendapatku.
Aku yang kaget, langsung menatap sebal ke arah Billy.
“Baiklah, kau Piano. Kau mau menjadi sekretaris?” tanya Darco padaku.
Sontak aku langsung menatapnya.
“Ahh, aku.. Aku..” kataku ragu-ragu.
“Dia mau. Tadi dia sudah mengatakan mau padaku. Lagi pula dulu sewaktu SMP dia juga sering menjadi sekretaris. Tulisannya sangat bagus..” tiba-tiba Billy memotong perkataanku yang lagi-lagi tanpa persetujuan dariku dan sok bersikap menjadi teman SMPku.
“Baik kalau begitu. Piano, kau calon sekretaris ya..” kata Darco kemudian sambil menuliskan namaku dan Billy di papan tulis.
Uhh, kenapa aku harus sebangku dengan pemaksa kehendak seperti dia??! Menyebalkan!!
Selanjutnya nama-nama lain pun mulai bermunculan. Tapi hasilnya tetap saja, Billy sebagai ketua kelas, dan aku sebagai sekretaris. Semoga aku tetap bisa menjadi orang yang sabar, doaku.

Chapter Three
Bel istirahat berbunyi. Tadi aku sudah sepakat untuk makan bersama Gissel. Aku pun segera keluar menuju kelasnya yang berada di sebelah kelasku. Ketika aku sudah mau sampai di depan kelas Gissel, tiba-tiba ada suara orang yang memanggilku dari arah belakang. Aku pun segera menoleh. Ternyata Billy.
“Kau mau kemana?” tanyanya begitu sudah sampai dihadapanku.
“Bukan urusanmu!’ jawabku ketus
“Wah, kau masih marah padaku karena menjadi sekretarisku ya?”
“Tentu saja, iya. Kau mengucapkan itu tanpa meminta pendapatku. Kau ingat?!”
“Well, oke aku minta maaf. Tapi ku pikir ini baik untukmu.”
“Baik untukku? Atau baik untukmu?”
“Baik untukmu supaya kau bisa belajar percaya diri dengan kemampuanmu. Aku yakin kau bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari ini.”
“Apa maksudmu?”
“Dasar bodoh..” katanya sambil menjitak pelan jidatku.
“Aish, kau benar-benar kurang ajar!” kataku sambil mengelus jidatku.
“Mau membalas? Ayo.. Kalau kau bisa menyentuh  jidatku, kau boleh membalasnya sepuasmu..” godanya. Oh, dia pasti tahu kalau aku berada jauh di bawahnya. Dia tinggi sekali. Aku pasti tidak bisa mencapai kepalanya.
“Tidak  mau? Apa tidak sampai? Oke, aku turunkan kepalaku..” katanya sambil menundukkan kepalanya. Lama terdiam, akhirnya dengan sekuat tenaga aku memukul kepalanya dengan novel tebal yang ku pegang.
BUUGH!!!
“Kau keterlaluan.. Sakit tahu!” katanya sambil meringis kesakitan dan memegangi kepalanya.
“Kita impas..” kataku sambil tersenyum dan melangkah memasuki kelas Gissel.
Tanpa aku dan Billy sadari, ternyata ada sepasang mata yang menatap kami daritadi.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Bagaimana kelasmu hari ini?” tanya Gissel padaku begitu kami sudah berada di kantin untuk makan siang.
“Semua berjalan baik. Tapi aku duduk dengan seorang lelaki yang menyebalkan!” jawabku sambil memainkan sedotan dari jusku.
“Menyebalkan? Menyebalkan bagaimana?” tanya Gissel penasaran.
“Dia orangnya sangat berantakan dan cuek. Kau tau kan, aku paling tidak suka hal-hal yang tidak rapi. Lalu tanpa meminta pendapatku, dia mencantumkan namaku untuk menjadi sekertaris. Huh, aku benar-benar sial harus duduk dengannya..” kataku dengan nada putus asa.
“Sabar ya, Piano. Aku yakin dia tidak bermaksud jahat padamu..”
“Iya, ku harap seperti itu. Tapi aku sudah puas membalasnya. Tadi aku sudah memukulnya dengan novel tebalku. Hhehe..” kataku sambil tersenyum sendiri mengingat kejadian itu.
Gissel terdiam beberapa saat, tapi tak lama kemudian dia tersenyum.
“Kau memukulnya?” tanya Gissel
“Iya, dengan keras dan dengan  novel tebalku..” kataku bangga.
“Kau kesal padanya dan kau memukulnya?” tanya Gissel lagi.
“Iya. Hei, kenapa kau bertanya seperti itu? Meragukan kekuatanku?” aku balik bertanya.
“Kau sadar tidak? Hari ini kau sudah berani bersikap kepada seseorang. Kau tidak memendam perasaanmu, tapi kau sudah berani mengungkapkannya. Ya kepada teman sebangkumu itu..”
Aku mencerna kata-kata Gissel barusan. Tidak memendam perasaan? Berani mengambil sikap? Benarkah?
Seolah mengerti pertanyaanku, tiba-tiba Gissel berbicara lagi.
“Pia, kita sudah berteman sejak SMP. Awalnya kau memang tumbuh normal seperti remaja lainnya. Tapi semenjak kematian Ibumu dan sikap kasar yang kau dapat dari ayahmu, kau menjadi pribadi yang tertutup. Kau memendam perasaanmu. Kau takut, pasrah, dan tidak berani bersikap apa-apa terhadap orang yang menyakiti dan menindasmu. Tapi hari ini lain. Kau berani mengungkapkan kekesalanmu pada teman sabangkumu itu. Ku harap kau akan seperti ini selamanya karena itu lebih baik..” kata Gissel sambil menggenggam tanganku.
Aku terdiam. Ingatan tentang masa laluku kembali terbuka.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Namaku Piano Hyuuga. Aku adalah anak dari Bram Hyuuga, seorang pengusaha terkenal dan cukup berpengaruh di kotaku. Dulu aku adalah seorang anak tunggal. Sampai kemudian, ketika aku berusia empat belas tahun ibuku hamil lagi. Aku yang bosan dan kesepian karena menjadi anak tunggal, otomatis sangat senang dan menantikan adikku itu lahir. Begitu juga dengan ayah dan ibuku. Tapi menjelang kelahirannya, tiba-tiba ibu terpeleset di kamar mandi dan akibatnya ia mengalami pendarahan hebat. Ibu segera di bawa ke rumah sakit. Ibu dan “calon” adikku menjalani operasi. Di perjalanan, ibu sempat tersadar dan berkata sesuatu kepadaku, “Pia, jika terjadi apa-apa pada ibu, tolong selamatkan bayi ini. Ibu ingin dia dapat hidup. Ingat pesan ibu, Pia..”.
Aku yang mendapat amanat itu, serta merta langsung menyampaikan kepada ayah saat kami harus mengambil keputusan sulit: menyelamatkan satu nyawa antara ibuku atau calon adikku. Ayah yang sangat mencintai Ibu dan merasa tidak bisa hidup tanpa Ibu, langsung memilih untuk menyelamatkan Ibu. Sedangkan aku yang diberi amanat itu berusaha mempertahankan pesan ibu walau kenyataannya sangat sulit untuk membiarkan ibu pergi. Kami sempat bersitegang dalam hal ini. Sampai tiba-tiba sebuah kabar menghampiri kami: “Maaf, kami sudah berupaya sebaik mungkin. Tapi ibu dan bayinya tidak bisa kami selamatkan..”
Bagai disambar petir dan tertimpa langit, aku benar-benar hancur saat itu. Kenapa aku justru tak bisa memilih salah satunya? Kenapa aku harus kehilangan  keduanya? Aku tahu, ayah sama hancurnya denganku saat itu. Sampai tiba-tiba karena termakan emosi, ayah berbicara kasar kepadaku: “Kalau kau tidak memaksa menyelamatkan bayi itu, mungkin aku tidak terlambat untuk bisa menyelamatkan ibumu! Sekarang aku harus kehilangan orang yang ku cintai karena pikiran pendekmu! Asal kau tahu, di dunia ini tak ada yang lebih ku cintai selain Ibumu. Kau dan calon adikmu itu, tidak berharga di mataku!”
Bagai tersambar petir dua kali lipat, aku benar-benar sedih mendengarnya. Hatiku benar-benar sakit. Ayahku tega berkata itu padaku di saat aku benar-benar dalam keadaan hancur? Apa dia tidak sadar kata-katanya itu membuatku ingin pergi saja di dunia ini? Aku langsung berdoa saat itu, “Tuhan, jika boleh ku meminta. Kembalikan nyawa ibuku, dan ambillah nyawaku. Lebih baik aku yang pergi daripada aku harus merasakan kepedihan ini..”. Tapi sayangnya Tuhan tak mendengarku. Ibuku tetap meninggal, dan aku tetap merasa kepedihan yang amat sangat. Apalagi sejak saat itu ayah seolah-olah tak mau bertemu denganku. Dia menghabiskan hidupnya dengan bisnisnya. Dia tidak lagi memperhatikan aku yang tengah merasa hancur atas kepergian ibu dan adikku, dia tidak memikirkan bagaimana sulitnya aku melewati masa sekolahku, dia tidak mengerti betapa sakitnya hatiku saat ia berkata: “Nilaimu menurun drastis. Anak bodoh! Bagaimana kau bisa ku handalkan untuk melanjutkan bisnis keluarga? Dasar anak sial! Mengapa ibumu melahirkan anak sepertimu? Bukan anak seperti Neji sepupumu yang pintar itu. Ku rasa dia yang lebih pantas mengantikanku nanti!”
Aku tidak ingin harta keluargaku. Sungguh. Aku hanya ingin ayah tak menyalahkanku atas kepergian ibu. Aku tau ia benar-benar merasa kehilangan, tapi itu pula yang kurasakan. Dan parahnya, ia juga menambah luka dengan selalu bersikap kasar padaku. Sejak saat itu, aku tak pernah berbicara pada ayahku. Hatiku tak kuat lagi kalau harus menerima perlakuan kasarnya. Dan tanpa ku sadari, sifatku mulai berubah. Aku cenderung menjadi orang yang tertutup, pendiam, pasrah, takut mengeluarkan apa yang ku rasa, sebagai akibat dari memendam segala perasaan sakit hatiku pada ayah yang tak bisa ku keluarkan.
Saat itu lah Gissel muncul. Dia periang, baik hati, senang berbicara dan melucu untuk menghiburku. Tanpa perlu bercerita, sering kali Gissel tau apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Tanpa perlu berbicara banyak, dia langsung memelukku tiap kali aku merasa hancur. Gissel membuatku benar-benar merasa nyaman. Karena sikapnya itu lah, lambat laun aku percaya padanya untuk menampung segala keluh kesahku. Aku mulai bisa dan mau mengeluarkan apa yang ku rasa padanya. Aku mulai banyak bercerita tentang segala hal, bahkan tak jarang dia yang menyelesaikan masalahku. Tapi itu pada Gissel, tidak dengan yang lain. Gissel sampai geregetan padaku karena aku selalu diam jika “ditindas” oleh orang lain.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Baik, tadi kita sudah menjalani pagi kita dengan saling mengenal dengan teman sekelas. Sekarang, saatnya kita untuk berkenalan dengan kegiatan eskul yang ada di sekolah ini. Kalian bisa melihatnya, lantas menimbang-nimbang akan memasuki eskul apa nantinya. Perlu kalian tahu, setidaknya kalian harus memilih satu eskul. Itu peraturan wajib untuk kalian dari sekolah. Kalian sudah siap, baiklah eskul pertama yang akan unjuk kebolehan di depan kalian adalah eskul Tari. Baik, silahkan masuk..” kata Kak Darco di depan kelas, yang kemudian disusul oleh rombongan perempuan dan laki-laki dengan pakaian beragam.
“Selamat siang. Nama saya Linda Sakura. Saya adalah ketua eskul tari di sekolah ini. Dan teman-teman di samping saya adalah anak-anak eskul tari. Mungkin kalian masih ingat atraksi kami kemarin. Ku harap kalian menyukainya, lantas kalian berminat untuk gabung bersama kami. Perlu kalian tau kalau eskul tari ini terdiri dari beragam tarian yang kami pelajari. Mulai dari tarian tradisional Jepang, hingga modern dance, dan pemandu sorak. Prestasi yang pernah kami raih di ataranya . . .” perempuan cantik berambut merah muda itu menjelaskan panjang lebar tentang eskul yang dipimpinnya. Dari caranya berbicara, perempuan itu terlihat jenis orang yang bersemangat, ceria, dan sangat suka tari. Dia juga pandai menghipnotis orang untuk memperhatikannya dengan gaya berbicaranya yang menyenangkan dan tidak membosankan. Tapi tetap saja, aku tak akan memilih eskul ini. Sangat jauh berbeda dengan diriku.
Setelah eskul tari, sekarang giliran eskul pecinta alam. Kak Garaa adalah ketuanya. Dia sangat cool. Tak perlu banyak bicara tapi sudah membuat banyak orang kagum dengan keahliannya memimpin tim, membuat beragam alat dalam berkemah, dan lain-lain. Billy, teman sebangkuku, terlihat berminat untuk ikut eskul ini.
Setelah eskul pecinta alam, eskul lain pun bermunculan. Eskul Fotografi, eskul radio sekolah, eskul mading, eskul basket, voli, renang, lalu eskul pilihanku: eskul kansas (kantin sastra).
“Baik, jika ada yang berminat untuk bergabung dengan klub kansas, kalian bisa menemui kami di gedung ini ruang 101. Salam sastra!” kata Kak Sai, mengakhiri presentasi dari eskul yang dipimpinnya.
“Aku akan bergabung dengan klub ini..” kataku dalam hati sambil tersenyum.
“Mengapa kau senyum-senyum begitu?” tanya Billy tiba-tiba.
“Bukan urusanmu..” kataku cuek
“Dasar aneh..” katanya sambil mengalihkan pandangan ke arah depan.
Aku tersenyum lagi, tapi kemudian senyumku mendadak hilang begitu menyadari siapa yang kini ada di depan kelas dan siap presentasi.
“Selamat siang.. Iya, kalian mungkin sudah melihat beragam eskul outdor yang dimiliki sekolah ini. Outdor disini maksudnya adalah eskul di luar organisasi seperti OSIS, Paskibraka, Pramuka, dan PMR. Lalu sekarang, dimulai dari eskul OSIS, kalian akan  menerima penjelasan mengenai eskul Indoor. Perkenalkan, saya Bryan Moses. Saya adalah ketua OSIS di sekolah ini. . .” Bryan dan rekan-rekannya bergantian memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang organisasi mereka. Aku memang menyimak penjelasan mereka, tapi mataku sama sekali tak menoleh ke arah Bryan yang –ku rasa- sering menatapku.
“Kalau begitu kami akhiri presentasi hari ini. Jika ada yang berminat bergabung dengan OSIS, silahkan datang ke ruang OSIS dan akan kami jelaskan tentang prosedurnya. Ohya, kami memiliki kebijakan baru. Setiap pengurus kelas harus menjadi anggota OSIS. Itu artinya, ketua kelas, sekertaris, dan bendahara harus mendaftarkan diri menjadi anggota OSIS. Sekian penjelasan kami, selamat siang..” Kiba mengakhiri penjelasannya dengan membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Pengurus kelas wajib menjadi anggota OSIS? Itu artinya, aku wajib satu organisasi dengan Bryan???
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku berjalan sendirian menuju perpustakaan. Saat ini sudah jam pulang sekolah, jadi sudah tidak banyak murid yang berkeliaran di gedung sekolah kecuali mereka yang masih memiliki urusan. Ya seperti aku ini. Untuk mengisi waktu luangku di kamar asrama, aku memutuskan untuk meminjam banyak novel untuk ku baca. Aku memang tidak suka melakukan aktivitas lain selain menulis di laptop, membaca buku, dan mendengarkan musik. Jadi daripada aku mati bosan di dalam asrama, lebih baik aku meminjam banyak novel.
Aku membuka pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca itu. Lantas aku pun masuk ke dalamnya. Begitu masuk di sebelah kanan ada deretan loker untuk menaruh barang-barang. Aku yang memang tidak membawa apa-apa, langsung berjalan ke arah sebelah kiri tempat pintu masuk perpustakaan. Bukan menyerupai pintu sebenarnya, tapi lebih kepada alat sensor seperti yang biasa ada di pintu masuk mall. Aku mengeluarkan kartu perpustakaan yang sudah ku peroleh sejak aku dinyatakan diterima di sekolah ini dari dalam dompetku. Lantas membiarkan kartu itu terbaca oleh alat sensor yang terletak di meja tak jauh dari pintu masuk hingga berbunyi “beep”. Selanjutnya aku melangkahkan kaki menuju rak-rak yang ada di dalamnya. Aku  tau sebenarnya jika ingin mencari buku tinggal melihatnya di komputer, di sana akan jelas detail buku hingga raknya. Tapi aku ingin melihat koleksi perpustakaan ini sendiri. Jadi aku memilih untuk melihat-lihat.
Koleksi perpustakaan ini bisa dibilang cukup lengkap. Di bagian depan terdapat beragam surat kabar dan majalah dari zaman dahulu hingga yang terbit hari ini. Koleksi lama tentu saja tidak dibiarkan terpajang di rak, melainkan di dalam lemari kaca. Sedangkan terbitan baru dibiarkan tersusun di rak koran yang seperti jemuran itu. Semua surat kabar dan majalah itu terpajang rapi di kedua sisi perpustakaan. Selanjutnya melangkah ke bagian dalam tedapat ruang baca yang cukup luas. Sebenarnya bukan ruangan, tapi lebih kepada deretan meja dan kursi yang tertata di tengah ruangan. Dan rak-rak buku berdiri mengelilingi tempat baca itu sesuai dengan jenisnya. Aku segera melangkahkan kakiku menuju rak fiksi. Ternyata rak itu berada di pojok perpustakaan. Setelah menemukan rak itu, aku pun mulai memilih novel yang mau ku pinjam. Sampai tiba-tiba kupingku mendengar sesuatu.
“Aku mencintaimu. Sejak dulu. Sejak kita masih sama-sama bersekolah di SMP. Kau mau menerima perasaanku?” aku menajamkan pendengaranku. Suara seorang perempuan. Tak ada sahutan, perempuan itu berbicara kembali.
“Jangan diam saja, Bryan. Aku tau kau sudah sering menolak banyak wanita. Tapi apa kau juga mau menolakku yang sudah menjadi sahabatmu?”
Bryan? Merasa tertarik mendengar nama itu, aku pun mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari lorong lain di antara deretan rak perpustakaan.
“Justru itu, Ten-Ten. Aku sudah menganggap kau sebagai sahabatku. Itu tak akan berubah. Aku tidak memiliki perasaan apa pun selain rasa sayang antar sahabat..” akhirnya ku dengar Bryan menanggapi perempuan yang dipanggilnya Ten-Ten itu.
“Katakan, sebagai wanita aku kurang apa? Kenapa kau menolakku? Kau tau? Banyak lelaki yang memintaku mejadi pacarnya. Tapi karena aku menyukaimu, aku tidak menghiraukan mereka.”
“Kau cantik, kau pintar, kau juga rekan kerja yang baik dan bertanggung jawab. Kau juga selalu baik padaku. Tapi seperti apa yang sudah ku jelaskan tadi. Aku hanya menganggapmu sahabatku. Maafkan aku, Ten-Ten. Tapi kalau kau ingin tau, aku sudah memiliki seorang wanita yang kelak akan mendampingiku. Itu alasan sebenarnya kenapa aku banyak menolak wanita..”
Aku menelan ludah ketika Bryan mengucapkan itu. Aku tak menyangka ia selama ini selalu berbuat seperti itu.
“Wanita yang kau suka? Siapa? Aku tak pernah mendengar siapa wanita yang tengah dekat denganmu? Oh, aku tau. Itu hanya alasanmu saja untuk menolakku kan?”
“Ten-ten, dengarkan aku. Aku tidak ingin menyakitimu. Jadi tolong jangan paksa aku. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa menerimamu. Maaf..” Bryan hendak meninggalkan gadis manis berkuncir dua itu, ketika tiba-tiba gadis itu menarik Bryan dan memeluknya erat. Aku  yang syok melihat kejadian itu tak sengaja menyenggol sebuah buku hingga terjatuh dari rak. Bryan dan gadis itu menoleh dan melihatku yang tengah berdiri mematung.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud mendengarkan pembicaraan kalian..” kataku sebelum aku pergi. Aku berjalan cepat menuju jalan keluar perpustakaan, tapi karena perpustakaan ini cukup luas, aku hanya mampu berjalan sampai ujung rak buku sampai aku merasakan ada tangan yang menarik lenganku.

Chapter Four
“Piano, dengarkan aku..” pinta Bryan.
“Aku.. Lepaskan aku.. Anggap saja aku tak pernah mendengarnya..” kataku sambil berusaha melepaskan cengkramannya.
“Sudah lama aku ingin berbicara denganmu. Ayo ikut..” katanya sambil menarik tanganku.
“Kau mau bawa aku ke mana?” tanyaku sambil berusaha melepaskan tangannya.
“Sudah, ikuti saja aku..” katanya sambil menggenggam erat tanganku.

Dalam diam, aku yang masih digandeng oleh Bryan mengikutinya ke suatu tempat. Ternyata dia membawaku ke ruang OSIS. Sebelum masuk dia membalik papan pengumuman yang tertempel di pintu: SEDANG RAPAT PENTING. MOHON JANGAN GANGGU. Lalu dia pun menyuruhku duduk di salah satu kursi yang mengapit meja besar untuk rapat. Bryan duduk di sebelahku dan menatapku.
“Kenapa kau tak memberitahuku kalau kau akan bersekolah di sini?” tanyanya kemudian.
“Aku juga tidak menyangka kalau Ayah memasukkanku di sekolah yang sama denganmu. Lagipula aku juga tidak tahu kau sekolah di sini.” Jawabku sambil menunduk menghindari tatapannya.
“Kau memang tidak mau mengetahui segala hal tentangku kan?”
“Itu.. Aku..” aku tak tau harus menjawab apa.
“Kuduga jawabannya: ya. Cih, lucu sekali. Selepas lulus dari sekolah ini kita akan bertunangan. Tapi tau tentang calonnya saja tidak. Ohya, berbicara pun tidak pernah. Kau tidak suka pertunangan ini?”
“Aku..”
“Kau  tau? Awalnya aku juga keberatan jika harus bertunangan dengan orang yang tak ku kenal. Tidak elit sekali pikiran orang tua kita yang mau menjodohkan pada zaman seperti ini. Tapi aku berusaha menghormati permintaan mereka dengan mau berjumpa denganmu beberapa bulan yang lalu. Kau tau? Entah kenapa sejak aku melihatmu saat itu, aku melihat ada sesuatu yang tak normal dengan dirimu. Kau tampak seperti memendam banyak penderitaan. Kau juga terlihat menurut dan takut sekali dengan ayahmu. Lantas selesai perjumpaan itu aku mengutus beberapa orang untuk mencari tau segala hal tentangmu. Sejak saat itu, timbul perasaan aneh dalam diriku bahwa aku harus melindungimu dan membuatmu merasa lebih baik. Tapi sayangnya respon yang ku dapat darimu tidak baik. Kau menolak bertemu denganku lagi. Kau tahu? Saat itu aku memutuskan untuk mundur. Tapi sekarang tiba-tiba aku melihatmu di sekolah ini..” cerita Bryan membuatku jadi serba salah.
Aku ingat beberapa minggu setelah pertemuan antara dua keluarga, Bryan mengajakku untuk bertemu. Tapi aku yang memang masih belum memikirkan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun menolak ajakannya. Ku pikir permintaan ayah yang memintaku bertunangan dengan anak dari rekan bisnisnya adalah permintaan yang paling aneh. Siapa yang ingin cepat tunangan dan menikah?
“Kau tidak menyukaiku?” tanya Bryan tiba-tiba.
“Kenapa kau bisa bicara seperti itu?” aku balik bertanya.
“Pertama, karena kau menolak bertemu denganku. Kedua, baik kau maupun ayahmu, sepertinya tidak berniat melanjutkan pertunangan ini. Tidak ada kabar lanjutan dari kalian..”
Aku ingat, hari itu saat kami pulang dari pertemuan keluarga, aku memberanikan diri untuk mengatakan perasaanku yang tak mau dijodohkan. Aku menganggap bahwa pertunangan ini adalah alasan ayah agar ia bisa dengan mudah menghilangkan aku dari hidupnya. “Kalau Ayah memang merasa benar-benar muak padaku dan ingin menyingkirkanku dengan cepat, lebih baik kirim saja aku ke tempat ibu di surga. Aku tak mau bertunangan dengan lelaki manapun!”. Ayah tampak kaget mendengar kata-kataku. Sejak saat itu Ayah tak pernah membahas masalah pertunangan. Tapi ternyata ia mengirimku ke sekolah yang sama dengan Bryan. Secara tidak langsung Ayah tetap memaksaku dengan cara yang lebih halus.
Aku masih sibuk menata perasaan sampai tiba-tiba Bryan kembali berbicara.
“Baiklah, aku tidak akan membahas pertunangan ini lagi kalau kau tidak suka. Anggap saja keluarga kita tidak pernah memutuskan apa pun.” putusnya sambil beranjak dari kursi dan hendak keluar.
“Maafkan aku..” potongku cepat sebelum ia keluar. Ia menghetikan langkahnya dan berbalik menatapku.
“Maaf karena tadi aku menguping pembicaraanmu dengan gadis itu. Dan maaf karena aku mungkin telah menyakitimu. Hanya saja selama ini aku selalu memandang pertunanganku sebagai alasan ayah untuk membuangku. Itu alasan ku menolak pertunangan. Aku juga selalu berpikir kalau ayah tak mau tau aku akan bertunangan dengan siapa, jadi ia akan asal memilihkan calon untukku. Itu alasan kenapa aku tak mau bertemu denganmu. Lagipula aku belum memikirkan untuk dekat dengan lelaki mana pun. Satu lelaki di dalam hidupku, sudah membuatku menderita. Aku tidak ingin ada lelaki lain yang membuatku tersiksa lagi. ” Lanjutku.
Bryan menghampiriku.
“Aku mengerti. Aku juga tak akan memaksa apapun padamu. Tapi ku minta hapus pikiran negatifmu tentang semua lelaki. Lalu biarkan aku untuk tetap menjadi tunanganmu sampai kau memutuskannya sendiri mau lanjut atau tidak nantinya. Sementara ini aku akan membuatmu bahagia dan membuatmu menyukaiku. Kalau nyatanya tidak berhasil, aku akan mundur..” katanya sambil menatapku serius.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Biarkan aku menyukaimu, dan biarkan aku berusaha membuatmu menyukaiku..”
“Tapi..”
“Aku tak akan menuntutmu untuk menyukaiku. Aku juga tak akan menuntut sikap apa-apa darimu. Tapi aku minta, jika kau sudah merasa menyukaiku, maka kau harus jujur padaku..”
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mengangguk. Ku pikir mau setuju atau tidak, pastinya aku tetap harus menuruti permintaan Ayah.
“Terima kasih..” kata Bryan sambil mengacak lembut rambutku sambil tersenyum.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Pia berjalan menuju asrama dengan senyum yang sesekali terukir di bibirnya. Entah kenapa sejak bertemu dan berbicara dengan Bryan, Piano merasa bebannya sedikit berkurang. Ternyata Ayah memintaku bertunangan dengan orang yang baik. Setidaknya itu saja sudah membuatku merasa tenang.
“Pia, kau dari mana saja?” tiba-tiba sebuah suara menghentikanku. Aku menoleh. Ternyata Gissel yang tengah kerepotan membawa banyak barang di tangannya. Aku dengan sigap membantu membawakan satu kantong plastik darinya.
“Terima kasih..” kata Gissel kemudian.
“Ini apa?” tanyaku sambil membuka kantong plastik yang kupegang.
“Koleksi DVD dan komikku. Aku tidak mau mati bosan di sini. Jadi aku meminta orang rumahku untuk mengirimnya ke sini..”
“Sebanyak ini?” tanyaku lagi
“Pia, kita di asrama ini akan tiga tahun, itu lama sekali bukan?”
“Tapi kan kita tetap mendapat jatah liburan tiap minggunya. Jadi kau tidak akan mati bosan di sini. Kau bisa keluar mencari hiburan..”
“Aish, kau cerewet sekali hari ini..” komentar Gissel
“Maaf..” kataku sambil tersenyum.
“Ya sudah, ayo cepat bawa barang-barang ini ke kamarku dan kau ceritakan ada hal apa yang terjadi denganmu.”
“Hal apa? Tidak terjadi apa-apa  kok..”
“Piano, sudah berapa lama kita berteman? Aku mengenalmu..”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Apa?? Jadi kau dan Bryan sudah dijodohkan??” tanya Gissel tak percaya setelah mendengar ceritaku tentang Bryan.
“Iya, dan sesuai rencana begitu aku dan Bryan lulus dari sekolah ini maka kami akan tunangan..” jawabku
“Tapi mengapa kau tak cerita padaku sebelumnya?”
“Karena aku sebenarnya tidak menginginkan perjodohan ini. Makanya aku tak berniat untuk memberitahukan siapa pun.”
“Lalu kenapa dulu kau bilang kau tidak mengenal Bryan?”
“Aku memang tidak mengenalnya. Aku hanya bertemu dengannya sekali, tanpa perkenalan dan perbincangan lebih lanjut. Aku hanya tau dia yang menjadi tunanganku.”
“Lalu kenapa aku tidak pernah melihat kau berniat untuk berbicara dengan Bryan?”
“Karena aku tidak mengenalnya dan tidak mau mengenalnya. Sampai akhirnya dia yang meminta berbicara padaku.”
“Lalu?”
“Lalu dia meminta aku untuk membiarkan dia menyukaiku dan membiarkan dia berusaha untuk membuatku menyukainya..”
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Setidaknya aku tau kalau ayah tidak menjodohkanku pada orang jahat. Sepertinya Bryan orang baik, jadi aku bisa menjalani perintah Ayahku dengan hati tenang..”
“Boleh aku kasih saran padamu?”
“Apa?”
“Buka hatimu. Biarkan Bryan masuk dan membahagiakanmu. Jangan jadikan dia sebagai alat untuk menerima perjodohan ayahmu. Tapi jadikan dia sebagai semangat dan cinta yang membuatmu senang dengan perjodohan ayahmu. Ku lihat Bryan orang yang baik dan tulus menyukaimu..”
Aku mencerna baik-baik perkataan Gissel.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Selamat pagi..” sapa Kak Darco pada siswa kelas X.2 di hari kedua masa orientasi. Hari ini tampilan Kak Darco jauh berbeda dengan hari pertama. Pada hari pertama, Kak Darco tampil dengan menggunakan seragam sekolah yang dibalut oleh jas almamater sekolah. Tapi hari ini, dia hanya mengenakan kaos dan celana olahraga. Memang, sesuai jadwal untuk hari kedua ini diisi oleh kegiatan di luar kelas seperti outbond, games kekompakan, dan juga pengenalan eskul outdoor. Aku dan siswa lainnya pun memakai pakaian olahraga sekolah ini.
“Baik, seperti yang kalian ketahui, jadwal kita untuk hari terakhir masa orientasi ini adalah pengenalan lapangan dan kekompakan. Untuk kegiatan pertama, kalian akan dikumpulkan di lapangan guna menjalani kegiatan Outbond dan games kekompakan. Tapi sebelum kalian ke lapangan, saya minta kalian membentuk kelompok dengan anggota delapan orang, jadi akan ada lima kelompok nantinya. Silahkan kalian bagi, dan tulis nama kelompoknya lalu kumpulkan ke saya. Saya tunggu lima menit..” perintah Kak Darco.
Aku dan anak sekelas pun langsung memutuskan kelompoknya. Rata-rata pembagian kelompok berdasarkan tempat duduk agar cepat. Jadi aku satu kelompok dengan teman satu barisku: aku, Billy, Sinta, Adit, Toya, Jingga, Karin, dan Arya.
“Baik, sekarang kalian bisa ke lapangan dan langsung baris berdasarkan kelompok..” perintah Kak Darco yang disusul dengan keluarnya siswa-siswa kelasku.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Oke, selamat pagi semua.. Hari ini kalian akan menjalani hari yang cukup berat sebagai hari terakhir orientasi kalian. Jadi saya harap kalian menjaga fisik kalian. Jika sudah tidak kuat, kalian bisa meminta izin kepada panitia dan bisa beristirahat. Untuk kegiatan pertama kalian akan bermain games kekompakan dan outbond. Games pertama kalian akan berbaris bedasarkan kelompok dan kalian mengusahakan agar tali ini bisa terlepas tanpa salah satu anggota kalian melepaskan pegangan tangan. Agar lebih mengerti, akan dicontohkan oleh Kak Flora dan Kak Ten-ten..” jelas Bryan panjang lebar saat semua siswa baru sudah berkumpul di lapangan. Tak lama kemudian Kak Flora dan Kak Ten-Ten mempraktekkan apa yang dikatakan oleh Bryan.
“Kalian sudah mengerti? Baik, kalian bisa baris memanjang sesuai kelompok dan berpegangan tangan. Nanti ada panitia yang memberikan talinya. Ohya, kalian  bisa mengatur strategi sedemikian rupa agar talinya bisa dengan mudah lepas dari kelompok kalian. Atur posisi anggota kelompok dengan baik dan saling bekerja sama. Kelompok yang lebih dulu bisa melepaskan talinya akan keluar sebagai pemenang. Nanti di akhir acara akan ada penghargaan khusus dari panitia kepada kelompok yang sering menang.” Tambah Bryan dengan diiringi oleh pembagian tali dari panitia.
“Tiap kelompok sudah memegang talinya? Baik, dalam hitungan ketiga, kalian mulai. Satu.. Dua.. Tiga!!” teriak Bryan bersemangat.
Sontak tiap kelompok berusaha dengan cepat agar bisa mengeluarkan tali berbentuk lingkaran itu. Begitu pula yang dilakukan oleh kelompokku. Namun sial, karena bersebelahan dengan Billy yang tinggi, aku jadi agak kesulitan menerima tali itu darinya dan memasukkannya kepada Toya yang juga tinggi. Kelompok kami jadi mengalami keterlambatan di sana. Sehingga dari sepuluh kelompok yang ada, kami hanya menjadi juara ke lima.
“Tidak bisa lebih cepat, Piano? Begitu saja kau lamban..” komentar Karin sinis begitu mengetahui kalau aku lah penyebab kekalahan kelompok kami.
“Maafkan aku..” kataku sambil menunduk.
“Ah, sial aku harus satu kelompok dengan manusia lamban sepertimu!” tambah Karin.
“Hei, santai saja. Ini hanya permainan. Tak usah berlebihan..” tiba-tiba Billy datang membelaku.
“Permainan atau tidak, kalah tetap saja kalah. Dan aku paling tidak terima jika harus kalah karena orang lain..” kata Karin
“Itu lah intinya permainan ini. Kebersamaan dan kekompakan. Akhirnya kami mengerti kau orang seperti apa. Ambisius dan tidak bisa bekerja sama. Ini akan jadi pelajaran bagi kami ke depannya..” balas Billy tak kalah sinis.
“Sudah, jangan bertengkar. Ini semua salahku. Maafkan aku. Aku akan berusaha lebih keras..” tengahku.
“Ya, ini semua memang salahmu..” kata Karin sebelum ia pergi meninggalkan aku dan Billy.
“Sudah, jangan kau pikirkan gadis galak itu. Santai saja.  Mungkin aku saja yang terlalu tinggi sehingga kau tidak bisa meraih tali itu dengan mudah. Maklum, setiap hari aku makan lidi, jadi cepat tinggi. Hhehe..” hibur Billy padaku.
Aku tersenyum.
“Terima kasih..” tambahku.
“Ya sudah, aku haus. Aku ambil minum dulu ya..” pamit Billy.
Aku mengangguk dan membiarkan Billy pergi.
Baru saja aku akan melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, tiba-tiba Bryan menghampiriku.
“Ada apa, Piano? Ada masalah?” tanya Bryan panik. Sepertinya dia melihat percekcokan yang terjadi antara aku dan Karin.

“Bryan Moses.. Tidak, hanya teman yang memprotesku karena terlalu lamban..” jawabku dengan nada putus asa.
“Jangan kau hiraukan ucapannya. Menang kalah biasa. Ini hanya permainan. Kau pasti bisa membuktikan ucapan Karin itu tidak benar. Kau perempuan hebat. Kau harus tau itu..” kata Bryan menenangkanku. Aku tersenyum mendengarnya.
“Ya sudah, kau masih punya waktu untuk ke toilet. Setelah itu kembali ke kelompokmu karena kita akan memulai games selanjutnya..”
“Baik..” kataku sambil tersenyum padanya dan segera beranjak ke toilet.
Aku memasuki pintu paling pojok dalam kamar mandi. Setelah selesai membuang “sampah” dari tubuhku, aku pun hendak keluar sampai akhirnya aku mendengar suara perempuan yang tengah becakap-cakap di luar dan membatalkan niatku untuk keluar dari kamar mandi.
“Kau sadar tidak? Bryan tampak bersemangat sekali hari ini. Padahal kemarin dia mengeluh sangat lelah.” Ujar suara 1
“Betul juga. Ahh, aku tau! Tentu saja Bryan bersemangat, dia kan selalu ditemani oleh pacarnya..” ujar suara 2.
“Pacarnya? Siapa?” tanya suara 1.
“Kau pikir siapa lagi gadis yang selama ini bersamanya?” suara 2 balik bertanya.
“Maksudmu Ten-ten?” tebak suara 1.
“Iya, sudah rahasisa umum jika Ten-ten menyukai Bryan. Kemarin Ten-ten akhirnya mengutarakan perasannya, dan ternyata Bryan menerima dia. Jadi selama ini alasan Bryan menolak banyak gadis karena ia menyukai Ten-ten, sekertaris sekaligus sahabatnya..” kata suara 2
“Kata siapa mereka akhirnya jadian?” tanya suara 1 lagi.
“Ten-ten sendiri yang mengatakan itu padaku. Ku rasa mereka sangat cocok. Betul tidak?” suara 2 minta pendapat.
“Ya, tampan dan cantik. Sama-sama memiliki banyak penggemar. Sama-sama pintar dan kaya. Pasangan sempurna..” kata suara 1 setuju dengan pendapat suara 2.
“Semoga mereka bisa langgeng. Yasudah, ayo kita kembali ke lapangan..” ajak suara 2 kemudian.
Setelah mereka benar-benar pergi, aku pun membuka pintu. Sambil melihat pantulan wajahku di cermin, aku mengingat ucapan Bryan kemarin.
“.. Aku hanya menganggapmu sahabatku. Maafkan aku, Ten-Ten. Tapi kalau kau ingin tau, aku sudah memiliki seorang wanita yang kelak akan mendampingiku. Itu alasan sebenarnya kenapa aku banyak menolak wanita.”
“Ten-ten, dengarkan aku. Aku tidak ingin menyakitimu. Jadi tolong jangan paksa aku. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa menerimamu. Maaf..”
Aku mendengar sendiri Bryan berkata seperti itu, tapi kenapa gadis-gadis itu berkata hal yang lain?
“Sudah rahasisa umum jika Ten-ten menyukai Kiba. Kemarin Ten-ten akhirnya mengutarakan perasannya dan ternyata Bryan menerima dia. Jadi selama ini alasan Bryan menolak banyak gadis karena ia menyukai Ten-ten, sekertaris sekaligus sahabatnya..”
Lalu perkataan yang Bryan tujukan padaku?
“Biarkan aku menyukaimu, dan biarkan aku berusaha membuatmu menyukaiku..”
“Aku tak akan menuntutmu untuk menyukaiku. Aku juga tak akan menuntut sikap apa-apa darimu. Tapi aku minta, jika kau sudah merasa menyukaiku, maka kau harus jujur padaku..”
Apa yang harus aku lakukan??

Chapter Five
Aku kembali ke lapangan dengan wajah tertunduk. Entah apa yang sebenarnya aku rasakan. Tapi kata-kata yang kudengar dari gadis-gadis tadi benar-benar membuat perasaanku gundah.
“Pia, kau kenapa?” tanya Billy tiba-tiba. Saking seriusnya berjalan menunduk, aku sampai tidak sadar kalau sudah sampai di lapangan tempat siswa baru termasuk kelompokku itu berkumpul.
“Ahh, tidak. Aku tidak apa-apa..” jawabku bohong.
“Kau masih memikirkan soal Karin? Tenang saja. Aku sudah menceramahinya agar bersikap baik padamu. Aku yakin dia akan mengerti. Kalau tidak, aku akan memberikan ceramah lagi padanya. Aku sangat suka menceramahi orang.. Hahaha..” canda Billy sambil merangkul pundakku.
Aku tersenyum, “Terima kasih, Billy..”.
Billy ikut tersenyum, “Yasudah, ayo kita baris lagi. Sudah mau games selanjutnya..” ajaknya kemudian. Aku  mengangguk dan berjalan mengikuti Billy menuju barisan. Tanpa sepengetahuanku dan Billy, ternyata Bryan yang sejak tadi mengawas di belakang peserta memperhatikan dengan serius kejadian itu. Bryan tersenyum. “Setidaknya kau memiliki teman yang baik di kelasmu..”, katanya dalam hati.
Games dan kegiatan ketangkasan kelompok lainnya pun dijalani oleh seluruh siswa baru. Mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan tali, air, sampai, kotor-kotoran di lapangan. Melelahkan memang, tapi dari raut wajah siswa baru,  mereka tampak puas dan senang karena bisa lebih akrab dengan siswa lainnya. Akan tetapi, ada satu wajah di sana yang terlihat tidak menikmatinya. Wajahku.
Selesai penutupan acara orientasi hari itu, aku langsung beranjak meninggalkan barisan kelompok. Aku ingin segera sampai asrama dan bertemu dengan Gissel untuk menceritakan hal yang membuatku resah.
“Pia, kau sudah ingin kembali ke asrama?” tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku yang baru ingin keluar dari lapangan. Tanpa menoleh aku tahu itu suara siapa.
“Iya, aku lelah. Aku ingin istirahat..” jawabku tanpa menoleh ke sumber suara.
“Baiklah, kalau begitu selamat istirahat. Ohya, nanti malam jangan lupa hadir ke acara peresmian penutupan orientasi. Di sana kau akan bisa lebih akrab dengan kakak kelas dan teman yang lain..” kata lelaki itu.
Aku hanya mengangguk lalu melanjutkan langkah. Baru beberapa langkah, tiba-tiba ada tangan yang menarikku.
“Kau kenapa?” tanya lelaki yang tadi saat dia sudah berdiri tepat dihadapanku.
“Aku.. Aku tidak apa-apa..” jawabku sambil menunduk, menghindari tatapan lelaki itu yang sangat serius menatapku.
“Pia, tatap aku. Ada apa? Kenapa kau terlihat seperti menyembunyikan sesuatu? Ada masalah?” tanya lelaki itu sambil mengangkat wajahku hingga menatapnya.
“Aku.. Aku..” aku semakin tidak dapat berkata apa-apa begitu berhadapan langsung dengannya, si pembuat gundah hatiku.
“Yasudah, kalau kau tidak mau mengatakannya sekarang juga tidak apa-apa. Tapi yang perlu kau tau, aku selalu ada untukmu. Jadi jangan memendam sendiri masalahmu. Baiklah, aku antar kau sampai pintu asrama..” katanya kemudian sambil menarik tanganku. Aku yang merasa kaget atas tindakannya itu langsung melepaskan tangan dari genggamannya.
Lelaki itu pun menoleh, merasa kaget atas sikapku yang menunjukkan penolakan.
“Aku tidak mau siapapun merasa sakit atas tindakanmu. Kau tidak perlu menggandengku..” kataku kemudian sambil melangkahkan kaki mendahuluinya.
“Apa maksudmu, Pia ?” tanya lelaki itu kemudian yang membuat langkahku terhenti.
“Sudah rahasia umum jika Ten-Ten menyukaimu. Aku tak ingin menyakitinya..” kataku tanpa menoleh. Begitu ingin melanjutkan langkah, tiba-tiba lelaki itu menarikku lagi.
“Ten-ten? Jadi  kau melepaskan genggamanku karenanya? Pia kau tau sendiri aku sudah menolaknya. Jadi kau tak perlu memikirkan perasannya..” kata lelaki itu dengan memasang wajah memelas.
“Aku mungkin memang melihat kau menolaknya. Tapi apa yang terdengar bukan seperti itu. Aku tidak mau mendapatkan masalah karena ini. Jadi sebelum semuanya terjadi, lebih baik kau tidak usah mendekatiku lagi.” aku melepaskan diri dari tangan Bryan dan langsung beranjak pergi menuju asrama. Sementara Kiba hanya berdiri mematung. “Jadi ini yang membuatmu terlihat diam? Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku juga tidak ingin menyakiti diriku sendiri. Aku harus meluruskan masalah ini.” katanya dalam hati.
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku menatap fotoku dan Gissel yang terpajang di meja belajarku. Aku ingin berbicara denganmu Gissel. Tapi sayang sekali kau sedang sibuk dengan kelas barumu. Aku  benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Beeep.. Beepp..
1 message received.
Aku langsung membuka sms itu. Dari nomor yang tak ku kenal.
Piano, kau sedang apa? Aku tidak ingin kau mecemaskan masalah tadi. Jadi saat acara nanti izinkan aku untuk menjelaskannya.
-bryan-
Sambil menghembuskan nafas untuk mengeluarkan kegundahanku, aku meletakkan handphoneku di meja lantas berjalan menuju tempat tidurku dan berbaring di sana.
Kenapa aku begitu gundah? Apa sebenarnya yang membuatku cemas? Oke, ini semua memang karena Bryan. Tapi kenapa aku harus dibuat gundah karenanya? Apa aku tidak terima mendengar kabar bahwa Bryan berpacaran dengan Ten-Ten? Jika ya, kenapa? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Apa aku wajar jika merasakan itu?
Beep.. Beep..
1 message received.
Ah, aku tak mau memikirkannya lagi. Aku lelah. Aku pun memejamkan mata dan terlelap.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥
Tok.. Tok.. Tok..
“Pia, kau sudah siapkan? Ayo kita ke aula..” teriak seseorang sambil menggedor-gedor pintu kamarku. Aku membuka mata dan mencoba mendengarkan suara itu. Ah, itu Gissel. Aula? Oh, Tuhan! Ada acara di aula..
Dengan cepat aku beranjak dari tempat tidur dan berlari menuju pintu. Begitu pintu terbuka, sontak Gissel langsung marah-marah karena aku masih belum rapi.
“Pia, kau lupa malam ini penutupan orientasi? Oh tuhan, kau masih memakai pakaian kita tadi. Acara setengah jam lagi akan dimulai. Bagaimana bisa kau tampil cantik hanya dalam waktu sekejap. Cepat. Lima belas menit aku tunggu kau mandi. Sementara itu aku akan menyiapkan gaun untukmu. Aku juga yang akan meriasmu. Ayo cepat, mandi!” kata Gissel sambil mendorongku menuju kamar mandi. Dasar Gissela. Aku tak seperti dirinya yang membutuhkan waktu lama untuk berdandan. Dengan cepat aku pun segera menuju kamar mandi dan membasuh tubuhku.
Aku mengamati gaun yang dipilih Gissel untuk acara malam ini. Gaun hitam panjang dengan hiasan berlian di pinggangg dan lehernya.
“Gissel, maaf. Tapi ku pikir ini berlebihan. Aku memakai gaun yang lain saja ya..” kataku sambil berjalan menuju lemari pakaian tampat baju-bajuku tersimpan.
“Pia, sekali-kali aku ingin melihat kau tampil glamour. Jangan selalu tampil sederhana dan biasa..” protes Gissela.
“Baik, tapi tidak malam ini. Masih untung aku ingin hadir, jadi jangan memaksaku memakai pakaian yang aneh-aneh..” kataku sambil mengambil gaun hitam selutut yang dihiasi bunga berwarna abu-abu di bagian pinggangnya.
“Ehh, apa maksudmu? Ada apa?” kata Gissel penasaran sambil menarikku duduk di tempat tidur.
“Ayo, cerita padaku..” pinta Gissel sambil menatapku lekat-lekat.
“Kemarin aku sudah cerita padamu bahwa aku mendengar Kiba menolak Ten-Ten yang menyatakan perasaannya kan? Aku juga sudah cerita bahwa Bryan menyukaiku dan ingin membuatku untuk menyukainya. Tapi tadi aku mendengar kabar bahwa Bryan ternyata menerima perasaan Ten-Ten dan mereka saat ini berpacaran. Aku tak mengerti apa yang ku rasakan, tapi yang jelas aku merasa tidak terima jika Bryan membohongiku..” ceritaku.
“Kau dengar darimana?”
“Tadi aku sedang di toilet, dan aku mendengar dua siswa yang menggosipkan mereka. Katanya mereka tau dari Ten-Ten sendiri. Ten-Ten yang mengatakan bahwa dia dan Bryan akhirnya berpacaran. Aku.. Aku benar-benar kecewa pada Bryan jika hal itu ternyata benar..” kataku sambil menundukkan kepala.
“Piano, aku mengerti perasaanmu. Kau pasti kaget dan kecewa mendengar kabar itu. Bryan terlihat meyakinkan dengan kata-kata yang dia ucapkan padamu. Dan kabar itu tentu dapat membuatmu merasa ragu dan kesal padanya. Saranku untuk saat ini, posisikan dirimu berada di tengah-tengah dan tidak memihak siapa pun. Artinya kau jangan dulu bersikap dan mengambil keputusan apapun termasuk berprasangka buruk. Jalani saja seperti biasanya. Nanti biar aku bantu menyelidiki ada apa sebenarnya. Jangan sedih lagi ya Piano..” kata Gissel sambil memelukku.
Aku hanya bisa mengangguk. Gissel benar. Tidak bisa dengan mudah menyelesaikan masalah ini. Aku harus benar-benar bisa berpikir dan bersikap dengan benar.
“Yasudah, ayo cepat pakai gaunmu. Nanti aku bantu merias wajahmu..” kata Gissel kemudian sambil melepaskan pelukannya. Aku pun segera beranjak untuk memakai gaunku dan segera duduk di meja rias untuk menerima riasan Gissel.
Beep.. Beep..
1 massage received.
Sambil menerima riasan Gissel, aku membuka sms itu. Dari Bryan.
Pia, kau datang ke aula kan? Aku menunggumu. Ada banyak hal yang harus ku jelaskan padamu..
Aku manghembuskan nafas pelan dan meletakkan handphone itu di meja.
“Siapa?” tanya Gissel
“Bryan. Dia ingin berbicara padaku. Sepertinya dia sudah mengetahui masalah yang terjadi..” jawabku.
“Baguslah kalau begitu. Semakin cepat tentu semakin baik. Ingat. Jangan bersikap yang berlebihan dulu jika nanti kau berbicara dengannya..”
Aku mengangguk.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Pia, sebelumnya maaf karena aku telah membuatmu gundah. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menyakitimu. Karena itu aku ingin menjelaskan semuanya padamu..” kata Bryan saat aku sudah bisa berbicara berdua dengannya.
“Baik, silahkan katakan apa yang mau kau katakan..” kataku.
“Piano, kau tau sendiri aku sudah menolak Ten-Ten. Lalu apa yang ku ucapkan padamu bahwa aku menyukaimu dan ingin kau menyukaiku juga adalah hal nyata yang memang aku rasakan. Masalah gosip yang kau dengar tentang aku dan Ten-Ten berpacaran, ku nyatakan ini hanya salah paham..” jelas Bryan.
“Salah paham?” tanyaku bingung.
Bryan mengangguk, “Saat kita berbicara di ruang OSIS itu, tanpa sepengatahuanku ternyata Ten-Ten mendengarkan pembicaraan kita. Lalu saat kita berpisah, tiba-tiba dia menghampiriku. Dia memintaku untuk tetap mengizinkannya menyukaiku dan membiarkan dia berusaha untuk membuatku menyukainya. Awalnya aku menolak, bagaimana kalau dia melakukan hal-hal bodoh yang akan melukai dirimu. Tapi dia memiliki alasannya sendiri. Dia merasa aku tidak cukup adil jika tidak menuruti permintaannya. Kau saja mau memberikanku kesempatan, karena itu aku harus memberikannya kesempatan. Dia juga berjanji jika suatu saat nanti kau menyukaiku, dia akan mundur untuk mendekatiku. Aku pikir toh aku tak akan menyukainya. Dan mungkin nanti kau akan menyukaiku. Jadi aku meng-iya-kan permintaannya..” jelas Bryan panjang lebar.
Aku masih terdiam mencermati apa yang Bryan sampaikan. Sampai kemudian Kiba melanjutkan perkataannya.
“Ten-Ten menceritakan hal ini kepada teman-temannya. Dua siswi yang kau dengar pembicaraannya di toilet. Akan tetapi mereka ternyata salah tanggap ucapan Ten-Ten. Mereka dengan seenaknya menyimpulkan kalau aku dan Ten-Ten sudah jadian. Tapi tenang saja, malam ini aku akan menghentikan kesalahapahaman ini. Ku harap kau tidak akan menolak rencanaku..”
“Rencana apa?” tanyaku penasaran.
“Aku akan mengumumkan pada teman-temanku bahwa kau adalah tunanganku. Dengan demikian celah Ten-Ten atau gadis lain untuk mendekatiku akan mengecil. Aku tidak mau kau terluka lagi atas hal-hal seperti ini. Lagipula agar kau juga tidak bisa diambil oleh orang lain..” jawab Bryan sambil menyunggikan senyum manisnya.
“Bagaimana?” tanya Bryan.
Aku diam sebentar, lalu tak lama kemudian mengangguk.
“Baiklah, ayo..” ajak Bryan sambil menarik tanganku.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Bryan menarik tanganku menuju teman-temannya yang tengah berkumpul di sudut ruangan. Di sana terlihat ada banyak teman-temannya. Sepertinya teman sekelas Bryan.
“Hai, maaf menganggu acara kalian. Tapi aku ingin mengenalkan seseorang pada kalian..” kata Bryan kemudian sambil menarikku ke sisinya. Semua teman-temannya pun menoleh ke arahku dan Bryan.
“Kenalkan, ini Piano Hyuuga. Dia adalah tunanganku. Dia lah yang menjadi alasan kenapa selama ini aku menolak banyak wanita..” kata Bryan sambil menggenggam tanganku erat dan bergantian menatapku dan teman-temannya dengan senyum yang merekah di wajahnya.
Semua yang ada di sana sejenak terdiam. Tapi tak lama kemudian terdengar tepuk tangan dan candaan yang tertuju pada Bryan.
“Waw, ternyata kau mampu memilih dengan baik temanku. Dia sangat cantik. Dan cocok denganmu. Selamat ya..” kata lelaki bertubuh gendut sambil memberi selamat kepada Bryan. Bryan hanya mengangguk dan tersenyum.
“Piano, aku Angga. Ku harap kau tidak menyesal memilihnya. Kalau kau menyesal silahkan tambatkan hatimu padaku. Hehehe..” canda lelaki bertubuh gendut itu sambil menjabat tanganku.
Aku hanya tersenyum dan manatap Bryan.
“Hey, dia milikku. Walau kau sahabatku, aku tidak akan menyerahkannya padamu..” kata Bryan sambil merangkul pinggangku.
Degh! Tiba-tiba jantungku berdegup keras atas tindakan Bryan padaku.
“Selamat. Aku turut bahagia untukmu..” kata lelaki berambut biru sambil bersalaman pada Bryan.
“Terima kasih, Noval. Semoga kelak kau akan mendapatkan gadis yang baik dan berbahagia. Aku ingin kita bisa bahagia..” kata Bryan.
“Selamat, Pia. Pilihanmu tepat. Bryan sangat baik dan bertanggung jawab..” kata Lelaki berambut biru bernama Noval itu sambil menjabat tanganku.
“Terima kasih..” kataku.
“Hei, juniorku. Selamat ya.. Aku tidak perlu mengucapkan selamat padanya. Kepada kau saja. Ohya, sekedar bocoran untukmu. Bryan memiliki sebuah impian bahwa ia ingin jatuh cinta, pacaran, dan menikah satu kali seumur hidupnya. Dan kau adalah gadis yang beruntung itu. Satu lagi, berhubung dia belum pernah pacaran jadi harap maklumi sikapnya jika kurang romantis..” kata Darco, lelaki yang menjadi pendamping kelasku selama masa orientasi.
“Sudah, jangan lama-lama kau dekat dengan Pia. Kau hanya akan menjelek-jelekkan namaku. Ayo, Pia. Kita pergi ke tampat lain. Aku ingin mengenalkanmu pada teman-temanku yang lain..” kata Bryan sambil menarikku menjauh dari Darco dan membawaku menuju tempat  lain.
“Bagaimana? Teman-temanku asik kan?” tanya Bryan ketika kami tengah berjalan menuju sudut yang lain.
Aku mengangguk.
“Eh, kau ingin aku melakukan ini atau tidak? Kalau menurutmu hal ini berlebihan, aku akan menghentikan hal ini..” tanya Bryan serius padaku.
“Ehm, sejujurnya aku tidak keberatan. Lagipula dengan mengenalkanku pada teman-temanmu tadi ku rasa akan menyebar juga beritanya. Jadi ku rasa lebih baik kita hentikan saja..” kataku sambil menatapnya serius.
“Baiklah, aku setuju. Kalau begitu daripada kita tidak melakukan apapun. Aku ingin kita mengenal lebih jauh lagi. Aku akan membawamu ke tempat yang asik di sekolah ini. bagaimana?”
“Baik..”

Chapter Six
Aku mengikuti langkah Bryan yang membawaku ke atap gedung aula. Awalnya aku takut karena ini malam hari dan pastinya akan gelap di atas sana. Tapi ternyata aku salah. Malam ini bintang dan bulan bersinar dengan terangnya. Ditambah dengan pantulan sinar lampu jalan yang berada di sekitar aula, atap gedung ini jadi tidak terlalu menakutkan dan gelap. Sebaliknya, tempat ini justru sangat romantis. Apa? Aku bicara apa? Romantis? Kenapa aku bisa berpikiran hal-hal seperti itu saat ini?
“Bagaimana? Tidak gelap kan? Sebaliknya, tempat ini justru sangat cantik dan romantis..” kata Bryan kemudian sambil mengajakku berdiri mendekati pinggiran atap gedung.
Glek. Aku menelan ludahku. Bryan juga berpikiran yang sama tentang tempat ini. Yaampun! Aku baru sadar kalau aku hanya berdua dengannya di tempat ini. Ku harap dia tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
“Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Jadi kau tidak perlu takut..” kata Bryan tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku.
“Ehh..” aku yang kaget dengan ucapannya tidak mampu berkata-kata.
“Perempuan baik-baik pasti akan berpikiran seperti itu jika hanya berduaan dengan laki-laki. Dan seperti kataku tadi, aku tidak akan berbuat yang macam-macam padamu..” katanya sambil tersenyum menatapku.
“Terima kasih..” kataku sambil mengeluarkan sedikit senyum untuknya.
“Hei, kau tau? Kalau kau tersenyum kau sangat cantik..” goda Bryan. Entah apa yang ku rasa, tapi wajahku langsung memerah.
“Hehe.. Wajahmu memerah. Ahh, kau pasti senang mendengar pujianku kan? Tenang saja Piano, kelak jika kau yakin untuk memilihku, aku akan mengucapkan banyak pujian untukmu..” katanya sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke langit.
Well, aku tau mungkin Bryan hanya bermaksud untuk menggodaku. Tapi entah kenapa kata-katanya membuatku senang.
Kami sempat terdiam beberapa saat. Sampai kemudian dia membuka suaranya lagi.
“Ohya, ku lihat kau sangat akrab dengan temanmu yang berambut pirang itu. Siapa namanya? Billy?”
Bryan pernah melihatku bersama Billy?
“Ku lihat dia orang yang baik. Walau terlihat urakan, tapi sepertinya dia selalu ingin melingdungimu. Aku bersyukur kau mengenalnya. Setidaknya dia bisa menggantikanku untuk menjagamu selama kau di kelas..” lanjut Bryan.
Bryan tidak marah melihatku akrab dengan Naruto? Dia justru membiarkanku dekat dengan Billy?
“Well, tapi aku juga manusia. Sejauh Billy tidak berniat buruk untuk merebutmu dariku, aku akan membiarkan kau berteman dengannya. Atau dengan lelaki manapun. Aku ingin kau memiliki banyak teman karena itu baik untukmu. Aku tidak akan melarangmu untuk dekat dan berteman dengan siapa pun. Dan sebagai gadis baik-baik, kau pasti bisa mengerti dan memahami keadaanku..” tambahnya.
“Ohya, ada yang ingin kau tanyakan atau katakan?” tanya Bryan.
Aku terdiam sejenak. Tapi kemudian aku langsung mengajukan pertanyaan yang selama ini ku pendam padanya.
“Bryan Moses, ehmm.. aku ingin tau. Sebenarnya apa alasan yang membuatmu menyukaiku? Aku gadis yang tidak spesial. Aku pikir kau layak mendapatkan yang lebih baik..”
Bryan menghembuskan nafasnya perlahan. Lalu menjawab pertanyaanku.
“Entahlah, aku tidak mengerti. Yang aku tau, sejak aku melihatmu ada sesuatu yang membuatku tertarik padamu. Bukan fisikmu, tapi sesuatu di dalam dirimu. Kau terlihat rapuh dari luar, tapi sebetulnya kau gadis hebat. Aku tau semua masalah di keluargamu. Masalah itu sangat berat. Tapi kau bisa melewatinya dengan baik. Selain itu, aku juga tau seberapa hebatnya keluargamu. Tapi kau selalu tampil sederhana. Kau berbeda dengan gadis lain yang ku kenal. Mungkin itu beberapa hal yang bisa ku jadikan alasannya..”
“Tapi yang pasti, aku benar-benar ingin mencintai seorang gadis sekali seumur hidupku. Dan memang kau lah gadis itu. Kau yang membuatku benar-benar bisa merasakan perasaan itu..” tambahnya.
“Ehh, lalu sampai saat ini bagaimana perasaanmu padaku? Sudah menyukaiku belum?” goda Bryan lagi sambil tersenyum jahil menatapku.
Mukaku memerah lagi. Aku tidak tau harus menjawab apa.
“Tenang saja, Piano. Kau masih memiliki banyak waktu sampai aku lulus dan kau menyusulku. Sampai saat itu, aku tidak akan memaksamu untuk menyukaiku. Aku hanya meminta padamu untuk mengizinkanku melakukan hal yang seharusnya ku lakukan padamu. Menjagamu, berbuat baik padamu, dan memberikan seluruh kasih sayangku padamu..” katanya sambil tersenyum dan mengacak lembut rambutku.
“Ada lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya Bryan lagi.
“Lalu.. Bagaimana tentang Ten-Ten dan gadis-gadis lain yang menyukaimu?”
“Kau tau? Mereka memang menyukaiku. Tapi aku tau mereka gadis seperti apa. Mereka gadis terhormat, mereka tidak akan menghancurkan harga diri mereka hanya dengan bertindak bodoh melabrakmu seperti yang ada di film-film. Ten-Ten dan gadis-gadis itu akan mundur begitu saja dengan sendirinya. Jadi kau jangan takut dan tidak usah memikirkan masalah mereka lagi ya..”
Aku mengangguk. Syukurlah.
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku berjalan menuju kamarku. Ternyata ada Gissel yang menungguku di depan pintu.
“Sudah lama berdiri di sini?” tanyaku pada Gissel sambil membuka pintu kamarku. Aku dan Gissel pun melangkah masuk ke dalam kamarku.
“Pia, kau kemana saja? Aku tidak menemukanmu selama di pesta tadi? Kau pergi dengan siapa? Kenapa tidak memberitahuku?” Gissel memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Seperti biasa. Kau bertanya banyak sekali..” komentarku sambil melepaskan perhiasan yang ku kenakan di depan meja rias.
“Hehe.. Aku penasaran. Pasti ada yang ingin kau ceritakan padaku kan?” tebak Gissel yang langsung duduk manis di kasurku. Aku menyusulnya dan duduk di sebelahnya.
“Kau tau? Aku senang atas apa yang Bryan lakukan untukku hari ini.” kataku membuka cerita sambil diiringi senyuman dari bibirku.
“Huaa.. Ada apa, Piano ? Apa yang dia lakukan untukmu ?” tanya Gissel penasaran.
“Tadi dia menjelaskan masalah yang membuatku sedikit kecewa padanya. Intinya, masalah itu hanya salah paham. Dia tidak pernah menerima Ten-Ten menjadi pacarnya. Sebagai buktinya, dia mengenalkanku sebagai tunangannya kepada teman-temannya. Ohya, aku juga sempat berbicara dengan lelaki berambut biru yang kau taksir itu. Siapa? Noval? Dia mengucapkan selamat padaku dan Bryan..”
“Noval? Ah, aku sudah patah hati duluan. Kau tau? Noval ternyata pacar dari Sakura. Dan sebagai gadis terhormat, aku tidak berniat merebutnya. Tapi kau tau? Aku malah berkenalan dengan Gaara. Dia sangat cool. Dan aku berniat untuk masuk ke eskul yang dipimpinnya..” cerita Gissel sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Gaara? Ketua eskul pecinta alam itu? Sejak kapan kau tertarik dengan hal-hal keras begitu? Kenapa tidak mengambil eskul tari saja sesuai kemampuanmu?” tanyaku heran.
“Eskul tari? Cih, mana sudi aku masuk eskul kekasih Noval. Well, aku memang tidak berniat merebutnya. Tapi aku masih tak rela. Jadi untuk apa aku masuk eskulnya? Kau benar, aku tidak pernah tertarik kegiatan keras seperti pencinta alam. Tapi itu bagus bukan? Bisa jadi alasanku untuk dekat dengan Gaara.. Hehehe..”
“Dasar kau ini..”
“Ehh, lanjutkan ceritamu. Aku penasaran..”
“Ya intinya dia melakukan hal-hal yang membuatku senang. Dia selalu meminta pendapatku sebelum melakukan sesuatu yang berkaitan denganku dan dia, dia memberikanku waktu untuk bertanya dan bercerita, dan puncaknya dia mengucapkan kata-kata yang membuat mukaku memerah dan malu. Dia selalu memujiku dan menyampaikan betapa dalamnya perasaannya padaku..” lanjutku sambil tersenyum sendiri ketika mengingatnya kembali.
“Pia, kau mulai menyukainya?” tanya Gissel tiba-tiba.
“Suka padanya?” aku balik bertanya.
“Senang dengan tindakannya, kata-katanya, tersenyum mengingat itu semua, apa kurang jelas ciri-ciri yang kau tunjukkan bahwa kau menyukainya?”
“Aku..” aku tidak tau harus menjawab apa. Sejauh ini aku memang selalu senang dengan kebersamaanku dengan Bryan. Tapi apa mungkin aku benar-benar menyukainya? Atau karena selama ini tidak ada yang bersikap seperti ini sebelumnya, lantas aku merasa keberadannya membuat warna lain dalam hari-hariku?
“Tidak usah terburu-buru, Pia. Masih banyak waktu untuk mengetahui apa sebenarnya yang kau rasakan pada Bryan. Mantapkan hatimu. Biarkan segalanya berjalan dengan sendirinya. Yang perlu kau ingat, kalau kau sudah yakin dengan perasaanmu segera katakan padanya. Perlu kau tau, untuk ukuran lelaki dia sudah cukup sabar mau menunggu dan membuatmu jatuh cinta padanya. Tapi dia juga manusia. Putus asa pasti ada juga dalam dirinya. Jangan memberi terlalu banyak jika kau tidak ingin membalasnya. Tapi sebaliknya, jika kau merasa nyaman dan suka dekat dengannya, segera tunjukkan agar dia merasa jerih payahnya tidak sia-sia.”
Aku mengangguk. Ya, Gissel benar. Aku tidak boleh menggantungkannya seperti ini. Aku harus segera mengerti perasaanku padanya.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Hai sekertarisku, ternyata kau sudah memiliki tunangan ya?” tanya Billy begitu ia masuk kelas dan duduk di sebelahku.
“Ehmm, mungkin lebih tepat jika dibilang calon. Ehh, kau tau darimana?” aku balik bertanya.
“Kau bodoh atau lupa? Bryan orang tenar di sini. Dan kabar tunangannya pasti cepat menyebar. Selamat, kau ikut tenar sekarang..” goda Billy.
“Cih, kau pikir aku ingin menjadi tenar seperti impianmu?”
“Haha.. Kau sangat mengerti diriku Pia. Kelak jika Bryan sudah lulus dan melepaskan jabatannya sebagai ketua OSIS, aku yang akan menggantikannya.”
“Terserahmu saja lah..”
“Ehh, aku ingin tau satu hal. Pernah dengar nama Pangeran Kodok di internet?”
“Pangeran Kodok?”
“Ya, di internet. Di dalam blogmu..”
“Blogku?”
Billy mengangguk.
Aku mencoba mengingat blog milikku. Baru semalam aku membukanya, seharusnya aku ingat. Ah, iya! Dia followersku. Dia juga yang paling aktif mengomentari semua tulisanku. Ah, apa dia Billy?
“Itu.. Kau?”
Billy mengangguk.
“Bagaimana kau tau itu blog milikku? Aku tidak menampilkan jati diriku yang sebenarnya di sana..” tanyaku heran.
“Foto yang kau gunakan adalah gambar Chibi Maruko Chan seperti yang menjadi gantungan tasmu. Di blog itu kau menggunakan nama Fredella, nama itu ada di semua alat tulismu yang kau gunakan sebagai penanda milikmu. Lalu di blog itu kau mencantumkan juga cerita-cerita yang belakangan ini kau alami di sekolah ini. Termasuk cerita tentangku. Blog itu betul milikmu kan?”
Aku mengangguk pasrah. Ternyata dunia sempit sekali. Bahkan aku bertemu dengan salah satu penggemar tulisanku.
“Piano, kau tau? Sejak dulu aku menyukai semua tulisanmu. Aku juga sempat berharap kalau bisa bertemu langsung dengan seseorang yang hebat sepertimu. Tapi ternyata kau sekarang ada di sebelahku. Aku sangat bersyukur mengenalmu. Well, aku mau mengakui sesuatu padamu. Aku sudah tau kau adalah fredella sejak hari pertama kita bertemu. Entah kenapa, aku sangat yakin itu kau. Dan ternyata benar. Sejak saat itu aku berharap kalau aku bisa “dekat” denganmu. Tapi ternyata aku tidak bisa melangkah jauh selain menjadi penggemarmu..” cerita Billy. Dia menekankan kata “dekat” itu saat mengucapkannya. Aku sangat terkejut mendengarnya.
“Tapi berteman denganmu saja sudah membuatku benar-benar senang. Kau tidak hanya hebat dalam menulis, tapi juga orang yang menyenangkan. Ohya, aku boleh kasih saran? Pilihan bertunangan dengan Bryan adalah hal yang tepat buatmu. Entah sadar atau tidak, tulisanmu semakin bervariasi. Dulu kau banyak menulis tentang kesepian, ketakutan, dan hal suram lainnya. Tapi sekarang tulisanmu dipenuhi dengan perasaan berbunga-bunga. Bryan hebat karena mampu membuatmu melakukan ini. Bisa dibilang dia lah yang menjadi inspirasimu saat ini. Itu sangat bagus..” tambahnya.
Tulisanku juga terpengaruh oleh kebersamaanku dengan Bryan? Billy bilang itu bagus? Mengapa aku tidak menyadarinya?
“Pia, aku tidak mengerti hatimu. Tapi kalau menurutku, Bryan memang layak menjadi tunanganmu. Jangan sia-siakan laki-laki sepertinya ya.. Atau kau ternyata sebelumnya justru menyukaiku?” goda Billy.
“Hah?” aku kaget dengan perubahan nada suara Billy. Dia gampang sekali mengubah suasana pembicaraan termasuk hatinya.
“Sudahlah, kau jujur saja. Sebelum kau benar-benar memilih Bryan ku rasa kau masih bisa memilihku. Bagaimana?” godanya lagi.
“Aish, kau apa-apan?” kataku mulai kesal dengan candaannya.
“Ohh, ternyata kau sudah menyukai Bryan ya?” godanya lagi.
“Ahh, sudah jangan ikut campur..” kataku sambil mengalihkan pandangan darinya.
“Wah, aku harus memberitahukan pada Bryan..” katanya sambil hendak bangkit dari kursinya. Cih, apa yang dia lakukan? Aku langsung bangkit dan menariknya duduk kembali.
“Jangan lakukan apapun.. Aku akan marah padamu kalau kau melakukannya. Aku akan menyebarkan di blogku kau orang yang sangat menyebalkan dan menghapusmu dari followersku, kau mau?” ancamku.
“Baik.. Baik.. Aku tidak akan melakukan apapun. Santai saja..” kata Billy sambil tersenyum jahil.
Aku kembali duduk di bangkuku. Kami terdiam sejenak, sampai kemudian dia mulai berbicara kembali.
“Pia, pikirkan dengan baik. Aku memang hanya temanmu, tapi aku ingin kau bahagia. Maaf kalau kau terkejut atas perkataanku. Tapi perlu kau tau, aku baik-baik saja. Melihatmu bahagia jauh lebih membahagiakan untukku. Jangan pikirkan masalahku lagi ya. Aku ini kan teman yang menyebalkan untukmu. Betul tidak?”
Billy, kau hebat. Aku tau tidak mudah mengatakan itu semua dengan bercanda. Tapi kau mau melakukannya untukku.
“Billy, terima kasih..” kataku kemudian.
“Untuk?” tanya Billy.
“Karena sudah sempat berniat untuk dekat denganku. Sudah mengerti keadaanku. Mau bersikap seolah  baik-baik saja walau mungkin hatimu perih melakukannya. Dan sudah jujur padaku. Maaf kalau aku tidak bisa melakukan apapun untukmu..”
“Hei, dengan menjadi temanmu saja sudah membuatku senang kau tau? Jangan merasa bersalah lagi..”
“Tapi aku tetap ingin minta maaf..”
“Yasudah ku terima maafmu. Sudah jangan hiraukan perasaanku lagi. Aku lelaki tegar. Aku tidak akan hancur karena ditolak wanita. Apalagi wanita sepertimu..”
“Aish, kau ini..” kataku sambil tersenyum.
“Tapi janji padaku kalau kau akan bahagia ya?”
Aku mengangguk mantap.
“Terima kasih..” katanya sambil tersenyum dan mengacak rambutku pelan.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku dan murid-murid lain pun segera berhamburan keluar kelas.
Beep.. Beep..
Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
1 message received
Piano, jangan lupa rapat OSIS. Ajak Billy dan bendahara kelasmu ya..
Sampai jumpa nanti.. ^_^
Ohya, aku lupa ada rapat OSIS. Buru-buru aku mengejar Billy dan Sinta yang sudah berjalan di depanku.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥
 “Baik, sekian dulu rapat kita kali ini. Saya harap kalian tidak keberatan atas peraturan baru yang mengharuskan pengurus inti kelas menjadi anggota OSIS. Seperti apa yang sudah diungkapkan oleh rekan saya yang lain, kalian akan mendapat banyak manfaat dari organisasi ini. Untuk pertemuan ini kita hanya melihat siapa saja wajah anggota OSIS yang baru. Untuk selanjutnya akan kami tentukan kalian masuk ke dalam sekbid berapa dan nanti akan kami kabarkan kapan rapat selanjutnya. Sekian, terima kasih..” kata Bryan mengakhiri rapat OSISnya siang ini.
Setelah membereskan barangnya masing-masing, satu persatu dari anggota OSIS itu pun keluar ruangan. Saat aku sedang berjalan sambil berdiskusi dengan Temari yang menjadi bendahara kelasku dan rekan OSISku, tiba-tiba Bryan menghampiriku.
“Maaf, bisa ku pinjam dulu temanmu, Sinta?” pinta Bryan sambil memegang tanganku.
Sinta  tersenyum, “Silahkan ketua OSIS. Piano, aku duluan ya..”.
Setelah Sinta pergi, aku melepaskan tanganku dari tangan Bryan.
“Tidak usah bertindak semesra itu di hadapan orang lain. Aku tidak enak dengannya..” protesku.
“Maaf, Pia. Wah, kau ingin aku mesra jika tidak ada orang lain ya? Baik.. Aku akan mesra saat berduaan saja denganmu..” godanya sambil merangkul pundakku.
“Aish, kau apa-apaan?” kataku sambil melepaskan rangkulannya.
“Wah, wajahmu memerah lagi Piano. Kau malu ya?” goda Bryan lagi.
“Ah, sudah jangan menggodaku lagi..” kataku sambil berjalan meninggalkannya.
“Pia, tunggu. Aku lapar belum makan siang. Temani aku makan di kantin ya..” pinta Bryan dengan memasang tampang memelas seolah-olah sudah seminggu tak makan.
“Tidak usah memasang wajah seperti itu. Baik, aku temani..” kataku.
“Hehe.. Terima kasih.. Ayo..” ajaknya sambil menarik tanganku.
Sekilas aku melihat wajahnya yang penuh senyum dan kebahagiaan itu. Entah kenapa aku jadi ikut merasakan senang.
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Kau mau makan apa, Pia?” tanya Bryan saat kami sudah berada di kantin.
“Aku sudah makan tadi dengan Gissel..” jawabku.
“Kalau begitu kau harus memesan minum. Aku tidak mau makan sendirian. Kau mau minum apa?” tanyanya.
“Ehmm.. Jus Strowberi saja.”
“Baik, aku pesankan dulu ya..” katanya sambil beranjak menuju kios yang menjual jus dan makanan China. Dia memesan mie goreng seafood sepertinya.
“Kenapa istirahat tadi tidak makan?” tanyaku padanya saat ia sudah kembali duduk di hadapanku.
“Tadi aku harus mengurus laporan orientasi bersama rekan OSIS yang lain. Kalau sudah begitu aku lupa waktu, makanya tidak makan siang.”
“Kau ini, organisasi boleh semangat seperti itu. Tapi jangan mengabaikan kesehatan tubuh. Telat makan bisa sakit.” Ceramahku.
Bryan bukannya protes karena telah ku ceramahi, tapi malah tersenyum.
“Aku senang kau cerewet seperti itu. Terima kasih..” katanya sambil tersenyum lagi.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku sebelum mukaku yang memerah ini terlihat olehnya. Tak lama kemudian pesanan kami datang. Ketika tengah asik menyantap pesanan kami, tiba-tiba handphoneku berbunyi.
Aku melihat layar handphoneku.
“Siapa?” tanya Bryan.
“Dari rumah..” jawabku pelan.
Ada apa orang rumah menelponku? Apa ayah yang menelponku? Disuruh apa lagi aku sekarang? Mau dihina seperti apa lagi aku sekarang? Aku hanya memandang handphoneku tanpa berniat untuk mengangkatnya.
“Kenapa tak kau angkat, Pia?” tanya Bryan penasaran.
“Aku.. Aku takut kalau itu ayah. Aku tidak mau menghadapinya..” jawabku.
“Pia, ada aku. Aku akan melindungimu jika ada apa-apa. Jawab dulu telepon itu. Siapa tau ada hal yang penting. Ayo angkat..” kata Bryan sambil menggenggam tanganku lembut.
Aku tampak ragu menatap handphoneku.
“Tidak apa-apa, Pia. Ada aku jika ayahmu menyakitimu. Ayo angkat dulu..” kata Bryan berusaha meyakinkanku.
“Hallo..” kataku menjawab telepon itu.
Aku terdiam beberapa saat mendengarkan orang di seberang itu berbicara. Sampai kemudian tanpa diduga air mataku tumpah begitu saja. Bryan yang melihaku menangis langsung bertanya padaku.
“Pia, ada apa? Kenapa kau menangis? Ada apa?” tanya Bryan panik sambil menggoyang lenganku pelan.
Aku tidak menjawab. Mataku menatap kosong ke arah depan sambiil tetap menangis. Handphone yang tadi berada di telingaku nyaris jatuh kalau saja Bryan tidak menangkapnya.
“Hallo..” kata Bryan sambil berbicara dengan orang yang ada di telepon itu.

Chapter Seven
Aku bersandar pada punggung Bryan sambil menumpahkan semua tangisku. Saat ini kami sedang berjalan menuju rumah sakit. Telepon tadi adalah telepon dari Paman Yang, kepala pembantu di rumahku. Beliau mengabarkan bahwa ayahku mendapat kecelakaan saat sedang berjalan menuju kantor, dan sekarang ayah sedang menjalani operasi di rumah sakit. Mendapat kabar itu, Bryan langsung berinisiatif untuk melapor kepada kepala sekolah untuk meminta izin keluar. Setelah dapat, dengan motor milik Bryan yang biasanya dititipkan pada penjaga sekolah kami pun langsung pergi menuju rumah sakit.
Sesekali Bryan menoleh melihat keadaanku. Aku tau dia pasti cemas melihatku seperti ini. Tapi entahlah, rasanya aku sangat sakit mendengar kabar itu.
“Pia, aku tau perasaanmu. Tapi ku mohon kau jangan seperti ini. Kau membuatku panik..” kata Bryan di sela-sela mengendarai motornya.
“Maafkan aku. Tapi aku juga tidak mengerti kenapa air mataku tidak mau berhenti mengalir. Aku tau aku memang sangat benci pada ayahku, tapi mengetahui dia yang sedang sekarat seperti ini membuatku.. membuatku..” aku tak sanggup melajutkan perkataanku, membayangkan hal buruk menimpa ayahku membuatku menangis lagi sambil merapatkan peganganku di pinggang Bryan dan bersadar ke punggungnya lagi.
“Kau harus menenangkan dirimu dulu baru kita ke rumah sakit. Aku akan membawamu ke rumahku dulu..” kata Bryan sambil mengenggam tanganku lembut.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Pia, minum dulu air ini..” pinta Bryan sambil memberiku segelas air putih. Setelah menyeka air mataku, aku pun meminum air itu. Selesai ku minum, Bryan mengambil gelas itu dari tanganku dan meletakkannya di meja. Lalu dia menatapku khawatir.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil menyeka air mataku yang masih ada di pipi.
“Aku..” aku tidak sanggup berkata-kata.
Bryan langsung bangkit dari jongkoknya dan berlutut untuk mensejajarkan diriku yang duduk di sofa. Dia pun memelukku lembut.
“Aku tau kau menangis karena di hatimu saat ini sedang perang batin. Di satu sisi, kau memang membenci semua perbuatan ayahmu selama ini. Tapi di sisi lain, dia adalah satu-satunya keluargamu. Kau tidak ingin dia kenapa-kenapa dan pergi meninggalkanmu. Pia, kau wanita hebat. Kau pasti bisa mengatasi masalah ini. Saranku, untuk saat ini tidak usah kau pikirkan dulu kebencianmu. Biar bagaimanapun dia ayahmu. Dia satu-satunya milikmu saat ini. Anggaplah kemarin dia sedang dalam keadaan khilaf sehingga tega menyakitimu. Yakinlah kelak dia akan berubah. Biar bagaimanapun kau tetap anaknya. Dia akan mengerti perasaanmu. Aku tau kau gadis yang baik, bersikap bijak dan mau memaafkan adalah sifat yang harus kau tunjukkan saat ini. Aku yakin kelak ayahmu akan berubah dan kau bisa bahagia. Karena itu berikan kesempatan untuknya melakukan itu. Aku selalu di sampingmu. Aku akan membantumu melewati ini semua..” kata Bryan sambil memelukku dan mengelus rambutku lembut.
Air mataku kembali tumpah mendengar perkataan Bryan. Bryan merapatkan pelukannya dan membiarkanku menangis di dadanya. Sampai kemudian, karena merasa kelelahan akibat menangis, aku malah tertidur.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku membuka mataku perlahan. Dimana aku? Sambil melihat sekeliling dan mencoba mengingat-ingat, akhirnya aku tau kalau aku sedang berada di sebuah kamar di rumah Bryan. Tadi aku menangis dan mungkin tertidur karena kelelahan.
Aku turun dari tempat tidur dan mencari keberadaan Bryan. Ternyata dia tengah berada di dapur. Sedang memasak sesuatu.
“Sudah bangun? Sudah merasa lebih baik?” tanya Bryan begitu ia melihatku.
Aku mengangguk.
“Yasudah, kau mandi dulu sana. Tadi aku sudah meminta pembantu untuk menyiapkan pakaian untukmu. Kau dapat menggunakan pakaian milik adikku. Dia dan kedua orang tuaku sedang pergi ke rumah Omaku. Setelah mandi, kau bisa makan. Pasti nangis menghabiskan banyak energi sehingga kau menjadi lapar. Aku sedang membuat makanan untukmu.”
Aku tidak langsung beranjak menuju kamar mandi, tapi malah menghampirinya yang tengah memasak itu. Aku menatapnya.
“Terima kasih..” kataku sambil menyunggikan senyum terbaik milikku. Bryan tampak terkejut, tapi sesaat kemudian dia langsung tersenyum dan mengacak pelan rambutku.
“Sudah kewajibanku..” katanya.
“Yasudah, kau mandi lalu makan dan kita berangkat menuju rumah sakit. Aku mendapat kabar bahwa ayahmu sudah melewati masa kritisnya. Dia sekarang sudah berada di kamar perawatan..” tambahnya.
Aku  mengangguk mantap lalu segera beranjak dari sana. Sesaat aku dapat melihat Bryan tersenyum lalu ia kembali asik dengan masakannya.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

 “Tuan mengalami gegar otak ringan pada kepalanya serta beberapa luka di kepala dan kakinya. Sejauh ini dokter mengatakan bahwa keadaan tuan baik-baik saja. Selanjutnya tinggal menunggu tuan siuman. Nona tidak perlu khawatir. Saya akan selalu memantau perkembangan tuan..” kata Paman Yang saat aku dan Bryan menemuinya di rumah sakit.
“Apa aku sudah bisa melihat ayah di dalam?” tanyaku.
“Sudah, Nona. Silahkan masuk jika Nona ingin melihat tuan..” jawab Paman Yang sambil mempersilahkanku masuk.
Aku menatap Bryan sesaat sebelum masuk. Bryan tersenyum menyemangatiku. Tak lama kemudian aku pun sudah duduk di kursi samping tempat tidur ayah.
Aku menatap ayah yang tengah terbaring itu. Urat-uratnya yang biasanya mengecang setiap berbicara denganku, kini terlihat mengendur. Tidak ada lagi wajah kasar dan sangar yang biasanya ayah tunjukkan. Kini di hadapanku hanya tergeletak seorang lelaki tua yang sudah memiliki banyak kerutan di wajahnya dan terlihat damai dalam tidurnya. Ragu-ragu aku menyentuh tangan ayah.
“Sudah lama sekali aku tidak menggenggam tangan ayah. Tangan ini dulu sangat sering membelai kepalaku, tapi belakangan justru sering digunakan untuk menunjukku jika ayah marah. Maafkan aku ayah, aku tidak bisa menjadi anak yang baik untukmu. Aku selalu mengecewakanmu. Aku yang membuat keluarga kita menderita sejak ibu tiada. Ayah, kau tau? Kalau aku bisa memutar waktu aku ingin kita bisa kembali ke masa itu. Masa dimana hanya ada aku, ibu, dan ayah. Masa itu sangat indah dan menjadi kenangan yang paling indah untukku. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, dia mengirimkan adik kecil dalam rahim ibu. Kita semua menyambutnya dengan sangat antusias. Sampai akhirnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan antara menyelamatkan anak itu atau ibu. Ayah, bukan hanya ayah yang merasa sedih dan putus asa atas pilihan itu. Aku pun demikian. Aku benar-benar terpukul ketika ibu, orang yang paling aku sayangi di dunia ini justru memintaku untuk menyelamatkan adikku. Kalau aku boleh memilih, aku ingin ibu saja yang selamat. Tapi melihat keadaan saat itu, aku berpikir kenapa aku tidak membahagiakan dan menuruti permintaan terakhir ibu? Bukankah itu justru membuat ibu bahagia? Tapi nyatanya belum sempat hal itu terjadi, Tuhan justru memanggil keduanya..” kataku sambil diiringi tangisan.
“Ayah, aku tau Ayah sangat terpukul atas kepergian ibu. Aku juga merasakan hal itu. Sangat merasakan. Tapi ada hal yang jauh membuatku sedih. Ayah menyalahiku atas kepergian Ibu dan langsung mengubah sikap terhadapku. Ayah seolah-olah tidak pernah menginginkanku berada di dunia ini. Ayah tau? Duniaku sudah hancur saat ibu pergi. Dan duniaku justru semakin tenggelam karena ayah, satu-satunya keluarga yang ku miliki tak lagi menyayangiku. Mungkin ayah tak sempat memikirkan perasaan dan keadaanku. Aku tumbuh menjadi gadis yang pendiam, pemurung, selalu hidup dalam keadaan tertekan, tak punya teman. Sering aku berdoa agar Tuhan mengambilku saja, toh aku juga tak ada artinya bagi siapa-siapa di dunia ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengan sahabat-sahabat terbaikku. Mereka yang memberiku kasih sayang dan perhatian yang tak ku dapatkan dari Ayah. Mereka juga yang selalu menguatkan hatiku bahwa suatu saat nanti Ayah akan mengubah sikapnya padaku..” lanjutku sambil sesekali menyeka air mataku.
“Ayah, aku tau kau mendengar semua perkataanku. Maaf kalau aku hanya berani mengungkapkan saat Ayah dalam kondisi seperti ini. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku kepada Ayah, orang tua kandungku sendiri. Aku tak menuntut apa-apa setelah ini. Aku hanya ingin Ayah mengetahui hal yang selama ini ku rasakan jika seandainya kita tidak bisa bertemu lagi. Bukan, bukan Ayah yang pergi. Aku akan selalu mendoakan Ayah agar bisa sehat kembali. Aku justru takut bahwa harus aku yang pergi dan aku tak sempat meminta maaf pada Ayah. Ayah, sekali lagi maaf karena aku lah yang dilahirkan di dunia ini. Maaf karena aku tidak bisa membahagiakanmu tapi justru membuat Ayah hancur atas kepergian Ibu. Terima kasih sudah menjadi Ayah yang baik untukku. Sampai kapanpun kau tetap Ayahku..” kataku sebelum aku berlari meninggalkan ruangan itu.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku tengah berbaring di kasur saat tiba-tiba handphoneku berbunyi. Bryan.
“Hallo..” sapaku.
“Hallo, Piano. Kau sedang apa?” tanyanya.
“Hanya bermalas-malasan di kasur. Kau sendiri?” aku balik bertanya.
“Aku sedang menelponmu untuk mengajakmu pergi main. Sekarang hari libur, ayo kita jalan-jalan. Belakangan ini adalah hari yang berat untukmu. Bagaimana?”
Aku menimbang-nimbang ajakan Bryan. Bryan benar. Sepertinya aku butuh refresing.
“Baiklah..”
“Yasudah, siap-siap dan aku akan menunggu di depan asramamu. Ku beri waktu setengah jam, cukup?” tanya Bryan jahil.
“Hei, aku bukan Gissel yang butuh waktu lama untuk dandan. Eh, aku hari ini belum melihat Gissel. Dia kemana ya?” tanyaku.
“Gissel belum cerita padamu? Usahanya dengan Gaara ternyata berbuah manis. Mereka sekarang tengah pergi bersama..”
“Gissel dan Gaara? Benarkah? Kenapa ia tidak cerita padaku? Padahal kemarin kita bersama terus..” tanyaku lebih kepada diriku sendiri.
“Beberapa hari kemarin masa sulit untukmu. Tentu dia ingin jadi sahabat yang baik untukmu. Dia prihatin padamu dan tidak mau terlihat bahagia sementara kau tengah bersedih. Sudah jangan kau pikirkan. Lekas siap-siap. Ohya, dandan yang cantik ya. Aku akan membawamu ke tempat yang seru dan indah..” kata Byan tetap diiringi dengan kebiasaannya menggodaku.
“Oke, tunggu aku setengah jam lagi.. Bye..”
“Bye..”

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Bryan!! Kau apa-apan mengajakku naik permainan ini?? Aku tidak mau..” protesku pada Bryan begitu kami mengantri permainan rollercoaster di sebuah taman bermain.
“Hehehe.. Permainan ini ampuh untuk meluapkan semua emosimu. Sudah tidak apa-apa. Tidak seseram yang kau bayangkan kok..” rayu Bryan.
“Aku tidak mau. Kalau jantungku lepas apa kau mau tanggung jawab?!” kataku kesal.
“Ayolah, ada aku. Aku akan menjagamu..” bujuk Bryan.
“Aku tidak mau. Kalau kau mau naik, yasudah naik sendiri saja!” kataku sambil meninggalkannya dan keluar dari antrian. Kiba menyusulku dan langsung duduk di sebelahku yang tengah duduk di sebuah kursi.
“Maaf, Pia. Aku tidak sungguh-sungguh mengajakmu naik permainan itu. Aku hanya ingin melihat ekspresi di wajahmu. Kau tau? Sejak kita tiba dan menaiki beberapa permainan kau tidak telihat berekspresi. Aku tidak suka kau merenung seperti ini terus..” kata Bryan kemudian. Aku kaget mendengar perkataannya. Apa benar aku tidak berekspresi?
“Sejak kita tiba dan mencoba banyak permainan, aku tidak pernah melihat ekspresimu. Senang, sedih, atau apapun. Makanya aku membuat lelucon itu. Dan  buktinya kau bisa memperlihatkan wajah marahmu. Sekali lagi maafkan aku, Pia. Aku hanya tidak ingin kau terpuruk lebih lama lagi..” katanya lagi.
Aku menatapnya. Aku melihat keseriusan perkataan itu di matanya. Sekarang justru aku yang merasa bersalah padanya. Dia pasti berpikir bahwa aku tidak senang jalan dengannya. Aku terlalu larut dengan masalahku dan melupakan kebahagiaan orang-orang di sekitarku. Tadi Gissel, aku bahkan tidak tau kalau dia tengah berbahagia dengan Gaara, dan sekarang Bryan.
“Maaf. Aku tidak bermaksud menunjukkan keterpurukanku. Aku yang salah. Aku terlalu memikirkan masalahku dan melupakan kebahagiaan orang-orang di sekitarku..” kataku kemudian.
“Tidak, Pia. Aku tau masalah ini berat buatmu. Aku mengerti kenapa kau seperti ini..” kata Bryan.
“Bryan, terima kasih. Aku mendapat hikmah dari caramu mengajakku naik permainan menyeramkan itu. Aku jadi sadar satu hal. Bukan cuma aku yang memiliki masalah. Jadi aku tidak seharusnya merasa terpuruk lama-lama sehingga merepotkan kau atau Gissel dengan masalahku. Lalu tidak seharusnya juga masalahku justru membuat sedih orang-orang di sekitarku karena aku mengabaikan perasaan mereka dan lebih memikirkan masalah serta perasaanku sendiri. Karena itu, aku ingin berubah. Aku ingin jadi gadis yang lebih kuat dan lebih memperhatikan dua orang penting di sekitarku, kau dan Gissel..” kataku sambil tersenyum padanya.
Aku melihat perubahan wajah Bryan. Sepertinya dia tersanjung ku katakan sebagai orang yang penting dalam hidupku.
“Wah, aku juga bisa membuat wajahmu merah ya? Kau pasti senang sekali karena ku katakan orang yang penting bagiku. Iya kan?” godaku. Wajah Bryan semakin memerah. Tapi kemudian senyum jahil terukir di bibirnya.
“Baiklah, kita lihat saja nanti. Aku akan membalasnya. Ayo sekarang kita  naik permainan lainnya..” ajaknya.
“Naik apa?” tanyaku.
“Rollercoaster super menyeramkan yang tadi sempat kau hindari.. Hahaha..”
“Aish, kau ini?! Tidak!!!” teriakku.
♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

Aku dan Bryan tengah asik menyantap mie ramen di sebuah restoran yang terdapat di taman bermain itu ketika tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kulihat nama di layar itu. Dari Paman Adam. Aku menatap Bryan.
“Angkat saja dulu..” katanya.
Aku pun mengngkat telepon itu. Aku loudspeaker teleponnya.
“Hallo..” sapaku.
“Pia, tuan ingin bertemu denganmu. Kau diminta untuk menemuinya di rumah sakit sekarang. Kau bisa?” kata paman Adam di seberang sana. Aku menatap Bryan. Dia gantian menatapku, menyuruhku memutuskannya sendiri. Setelah menimbang-nimbang, akhinya aku menjawab.
“Baik. Satu jam lagi kami tiba di sana..” kataku. Lalu telepon pun ditutup.
Aku menatap Bryan.
“Keputusanku salah atau tidak?” tanyaku  kemudian.
“Ehmm.. Tergantung. Kenapa kau memutuskan itu?”
“Aku.. berpikir bahwa mungkin akan ada kabar baik untukku. Mungkin ayah ingin memperbaiki hubungan kami. Kalau pun tidak, setidaknya aku ingin menunjukkan baktiku sebagai anak yang mengunjungi ayahnya yang sedang sakit..” jawabku.
Bryan tersenyum, “Kau benar, itu baru tunanganku..” katannya sambil tersenyum bangga.
“Tunanganmu? Ingat, aku belum memutuskan untuk menerimamu..” kataku jahil.
“Hmm.. Benar. Maaf..” kata Bryan dengan wajah sedih. Aku tersenyum melihat reaksinya itu.

♥♥ \(≧∇≦)/♥♥

“Pia, terima kasih sudah mau datang menemui Ayah. Ada dua hal yang ingin Ayah katakan. Pertama, terima kasih kau masih tetap menyayangi Ayah walau Ayah bersikap sangat buruk padamu. Terima kasih juga karena kau masih mau berpikir bahwa Ayah akan berubah. Yang kedua, maaf karena selama ini Ayah sudah sangat jahat padamu. Ayah justru menghancurkan hidup anak sendiri. Ayah hanya memikirkan rasa kehilangan yang ada pada diri ayah dan tidak memikirkan perasaanmu. Ayah benar-benar menyesal. Ya kau tau, Ayah tidak mampu berbicara banyak jika menyangkut hal seperti ini. Tapi intinya, Ayah menyesal dan Ayah ingin memperbaiki semuanya..” kata Ayah begitu aku sudah berada di kamar perawatannya. Aku menatap Ayah. Aku mencerna kata-katanya. Apa aku tidak salah dengar? Ayah ingin memperbaiki hubunganku dengannya? Tiba-tiba saja air mataku mengalir turun. Bukan air mata kesedihan, tapi kebahagiaan.
“Kenapa kau menangis? Kau tidak senang dengan yang Ayah ucapkan? Ayah menyakitimu lagi?” tanya Ayah panik begitu melihat aku menangis.
Aku menggeleng.
“Aku menangis bahagia. Aku benar-benar bahagia..” kataku sambil menghapus air mataku.
“Kalau begitu, ayo kemari. Peluk Ayah. Sudah lama sekali Ayah tidak memelukmu..” pinta Ayah. Aku langsung menghambur mendekati Ayah dan memeluknya. Kami berpelukan lama sekali. Kami saling mengobati luka dan memaafkan melalui pelukan ini.
“Ohya, bagaimana sekolahmu? Bagaimana dengan Bryan?” tanya Ayah kemudian saat kami melepaskan pelukan.
“Sekolahku baik-baik saja. Awalnya aku tidak senang. Tapi dikelilingi  oleh orang-orang yang baik, Gissel, Billy, dan juga Bryan, aku jadi bahagia dan  betah di sana..” jawabku.
“Kau akrab dengan Bryan?” tanya Ayah penasaran.
Aku mengangguk.
“Padahal aku berniat untuk membatalkan pertunangan kalian. Aku tidak ingin memaksamu lagi..” kata Ayah kemudian.
“Hah?? Apa??” tanyaku kaget.
“Loh, kenapa kau kaget seperti itu?”
“Aku.. Hanya saja..”aku bingung melanjutkan kata-kataku.
“Kau sudah menyukainya??” tanya Ayah.
“Aku..”
“Kalau tidak akan ku suruh Paman Adam untuk menelpon orang tua Bryan dan membatalkan pertunangan kalian. Paman Adam..” kata Ayah yang kemudian memanggil paman Adam.
“Jangan! Jangan dibatalkan!” larangku.
“Kenapa?”
“Aku menyukainya..” kataku.
Suasana hening sejenak. Sampai kemudian Ayah tertawa begitu pula Paman Adam. Dan tak lama kemudian Bryan muncul. Aku jadi serba salah sendiri.
“Kenapa diam? Tunanganmu datang..” goda Ayah.
“Jadi kau sudah menyukaiku?” goda Bryan.
“Aku.. Aku.. Tadi itu..”
“Sudah, aku tidak butuh kata itu keluar dari mulutmu. Yang penting aku sudah tau kalau kau menyukaiku. Betul tidak cinta pertama?” goda Bryan lagi.
“Cinta pertama?” tanyaku.
“Aku cinta pertamamu kan?? goda Bryan lagi.
“Aku juga cinta pertamamu kan??” balasku.
“Sudah, sama-sama cinta pertama jangan bertengkar. Hahaha..”
“Hahaha…”

THE END