Nama : Ria Vinola Widia Wati
Kelas : X AK-4
MaPel : Kewirausahaan
Dari Tukang Dorong Gerobak Roti hingga Miliki
6 Cabang Toko Roti
Pria putus sekolah yang hanya sempat mengenyam pendidikan di
ST atau setara SMP, mengawali bisnisnya hanya bermodal sebagai tukang dorong
gerobak roti hingga mendapat kepercayaan mengelola toko roti yang bangkrut.
Kini ia memiliki enam toko roti yang tersebar di beberapa provinsi di Sumatera.
Puluhan
karyawan berbaju merah, di sebuah toko roti Saimen, Jalan Raden Mattaher No
52-54, Pasar Jambi, tampak sibuk melayani setiap pengunjung yang datang. Di
sisi kanan, terlihat rak-rak yang diisi bermacam-macam roti dan kue
tradisional. Pembeli pun dapat dengan bebas memilih jajanan kesukaannya. Di
bagian dalam tampak antrean para pembeli yang tengah memesan berbagai makanan
seperti fried chicken, mi, nasi goreng, serta berbagai menu lainnya. Bahkan
kursi-kursi yang disediakan hampir semua diduduki oleh para pengunjung yang
menikmati makanan yang telah dibeli.
Dari
lantai dua bangunan tersebut, terdengar riuh tepuk tangan seperti sebuah acara.
Ternyata saat itu sedang berlangsung pemberian Anugerah Gandum Kencana 4. Acara
yang telah menjadi agenda tahunan itu memberikan apresiasi kepada pelanggan
setianya berupa hadiah-hadiah menarik seperti handphone dan sepeda motor.
Di
tengah ruang tersebut, tampak berdiri sosok pria berkulit putih yang mengenakan
baju kemeja kuning dan kacamata. Dengan penuh senyuman, dia menerima ucapan
selamat dari seluruh undangan seraya bersalam-salaman. Dialah Simon Daud, sang
pemilik toko roti Saimen, yang begitu terkenal di Jambi dan beberapa daerah
lainnya.
Pembawaannya
sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia
mempersilakan Jambi Independent duduk. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya
mengawali pembicaraan kepada wartawan koran ini, yang juga memberikan ucapan
selamat kepadanya.
Ia
pun menjelaskan ihwal nama Anugrah Gandum Kencana yang diambil dari kata
gandum. “Karena usaha roti, mi, dan ayam goreng, serta kue-kue yang saya kelola
semua menggunakan gandum, makanya diberi nama Anugerah Gadum Kencana,” ujar
pria kelahiran Bangka Belitung, 1957, itu.
Usaha roti yang dirintis sejak 1985 di Kota Jambi bermula
dari kesederhanaan. Peralatan yang masih sederhana serta modal terbatas hanya
Rp 20 juta. “Modal Rp 20 juta itu sudah termasuk sewa toko, kendaraan,
peralatan kue sederhana, bahan baku, dan perlengkapan toko,” kenang Simon Daud
akan masa lalu usahanya, yang diberi nama Roti Prancis.
Modal
usaha yang sangat terbatas itu didapat dari hasil tabungan sejak 1997-1984
sebagai tukang dorong gerobak roti dan pengelola toko roti di Palembang.
Pengalaman menjadi tukang dorong gerobak roti dilakoni Simon di usia 16 tahun
ketika memutuskan merantau dari Bangka ke Palembang. Ia berharap setiba di
Palembang bisa masuk Balai Pelatihan Kerja yang dikelola orang Jerman. Tapi
sayang pelatihan itu sudah ditutup, karena hanya berlangsung lima tahun. “Pas
saya ke Palembang, pelatihan itu sudah tahun kelima, jadi saya tidak bisa ikut
lagi,” ujarnya.
Tak
berputus asa, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Simon ikut bekerja di sebuah toko
roti sebagai tukang gerobak yang mengantarkan roti ke ekspedisi untuk dikirim
ke daerah. “Saya bekerja sebagai tukang dorong gerobak roti selama tiga tahun,”
akuinya.
Selama
mendorong gerobak, Simon dengan ringan tangan sering membantu pekerjaan para
pembuat roti. Dari rajin membantu dan bertanya itulah akhirnya Simon
mendapatkan ilmu tentang membuat roti. “Dasarnya juga saya memang sudah bisa
bikin roti, belajar dari ibu saya. Tapi di toko roti itu saya bisa menambah
ilmu lagi,” ujar pria yang memiliki tiga anak itu.
Tiga
tahun bekerja sebagai pendorong gerobak roti, toko tempatnya bekerja bangkrut
dan terlilit utang karena sang pemilik kalah judi. Tak ingin kehilangan
pekerjaan, Simon pun melakukan negosiasi dengan pabrik roti yang merupakan
relasi bisnis tempatnya bekerja. “Saya minta ke pemilik pabrik untuk dukung
saya menjalankan toko roti yang bangkrut tersebut, dan berjanji akan melunasi
utang yang ditinggalkan pemilik sebesar Rp 6 juta. Saya janji lunasi dalam satu
tahun,” tegas Simon dengan penuh keyakinan kala itu.
Berhasil
melunasi utang toko roti, pemilik toko pun akhirnya menyerahkan usahanya kepada
Simon dengan pembayaran modal toko sebesar Rp 4 juta, dicicil selama satu
tahun.
Bakat
usaha sebenarnya telah ditanamkan oleh orangtua Simon yang hanya bekerja
sebagai nelayan. Dulu, sebelum berangkat sekolah ST, oleh orangtuanya Simon
disuruh mengantar ikan terlebih dahulu ke pasar. Sesampai di sekolah, tubuh
Simon sering tercium bau amis ikan. Karena itu Simon sering mendapat ejekan
teman sekolahnya dan bahkan dijauhi. Tapi bagi Simon itu bukan masalah untuk
bisa meneruskan sekolah. “Dari situ saya bertekad bisa sukses dan mengubah
nasib agar tidak dihina orang. Setelah sukses pun saya tidak mau sombong,” kata
Simon penuh sahaja.
Sukses mengelola toko roti di Palembang, tepatnya di dekat
Jembatan Ampera, Simon memutuskan membuka usaha di Jambi. Pada 1985 dia
merintis usaha di Jambi. Perkembangannya tidak begitu pesat, karena
kepengurusannya masih melalui pihak ketiga. Pada 1990 Simon memutuskan menetap
di Jambi dan mengurus sendiri usahanya. Lalu pada 1992, Roti Prancis berganti
nama menjadi Saimen yang diambil mirip namanya. “Roti Saimen itu pun langsung
saya patenkan,” tegasnya.
Menjalankan
bisnis roti, menurut Simon, perlu kerja keras, penelitian soal rasa dan selera
pasar, serta kualitas makanan. Berkat keuletan dan kepiawaiannya menjalankan
usaha roti, usaha itu pun terus berkembang dengan menambah berbagai menu
seperti mi, ayam goreng, dan kue jajanan pasar. “Agar usaha ini terus
berkembang, saya sangat menjaga kualitas rasa dan bahan. Selanjutnya baru
melakukan promosi agar lebih dikenal masyarakat,” imbuhnya.
Simon
pun membuka beberapa cabang seperti di Muarabungo dan Sipin. Tak hanya sampai
di situ, Simon pun melebarkan sayap bisnisnya hingga ke provinsi tetangga
seperti Bengkulu, Palembang, dan Tanjungpinang. Bahkan pada 2010 Simon
berencana membuka sepuluh cabang lagi di beberapa daerah, di antaranya
Tembilahan, Bangko, Sarolangun, Linggau, dan Curup.
Kalau
biasanya usaha dimulai dari kota besar ke daerah, Simon justru memulai
sebaliknya. “Karena itulah sama teman-teman saya dijuluki ‘Si Kabayan Masuk
Kota’,” ucapnya sambil tersenyum.
Resep
roti dan masakan yang ditawarkan Simon sesuai selera masyarakat setempat. Ia
rajin mempelajari selera masyarakat di berbagai daerah, lalu meraciknya menjadi
sebuah citarasa yang khas, lezat, dan tanpa pengawet. “Target untuk ekspansi
penuhi wilayah Sumatera,” ucapnya optimistis.
Untuk
memperkaya ilmu, Simon rela merogoh kocek lebih dalam guna mengikuti kursus di
Jakarta dan beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Bangkok, Thailand,
Taiwan, Jepang, Cina, dan beberapa negara Eropa. “Habis belajar dari Eropa,
pulangnya di pesawat saya nyaris hampir mati gara-gara menahan buang angin,”
ucapnya sambil tertawa. Simon mengaku tidak enak kentut karena di sebelahnya
duduk seorang bule Eropa. Takut dianggap tidak sopan, ia menahan kentut hingga
perut terasa bengkak dan napas terasa menyesak. “Saya sampai terbaring lemas,”
katanya sambil mengelengkan kepala.
Lantas
dengan ilmu yang didapat itu, ia pun berencana membangun Baking School, pusat
pendidikan para kitchen (tukang masak) dan baker (pembuat roti). “Tapi ini
masih untuk kalangan intern,” pungkasnya.
Dalam
waktu dekat Simon berencana membuka I-Donat and Cafe di Jalan Sumantri
Brojonegoro, Sipin. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat semua terealisasi,”
katanya mengakhiri percakapan.(*)
Kisah Sukses Simon “Si Kabayan Masuk Kota” Daud,
Pengusaha Roti Saimen