Hukum Perjanjian



Ria Vinola Widia Wati
D3 Sekretrari ‘13 (8143136659)

Hukum Perjanjian

Pengertian
    Menurut pasal 1313 KUHPerdata dan disempurnakan definisi perjanjian adalah “Perbuaatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
    Sedangkan mengenai definisi dari perjanjian itu sendiri oleh para ahli sarjana juga diartikan secara berbeda pula, menurut Prof. Subekti S.H.

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksankansesuatu hal.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu:

1. Kesepakatan
    Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. 
   Cara terjadinya kesepakatan/ terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:
a.    Degan cara tertulis
b.    Dengan cara lisan
c.    Dengan simbol-simbol tertentu
d.    Dengan berdiam diri
    Berdasarkan berbagai cara terjadiya kesepakatan tersebut diatas, secara garis besar dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi yang tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam.
    Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu kesepakatan secara tertulis dan secara lisan. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.  Kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan yang lainya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak.
   Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal-hal berikut:
a.    Kekhilafan (bedrog)
b.    Paksaan (dwang)
c.    Penipuan (dwaling)
Ketiga cacat kehendak tersebut diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata dan 1449 KUHPerdata yang masing-masing menentkan sebagai berikut:
Pasal 1321:
        Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kakhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1449:
Perikatan yang dibuat dengan paksaan. Kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.
   
2. Cakap Melakukan Perbuatan Hukum
    Cakap melakukan perbuatan hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbilkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenag untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.  Seorang dianggap tidak cakap apabila belum berusia 21 tahun dan belum menikah, berusia 21 tahun tetapi sakit ingatan, dungu, dll.
    Dalam pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
a.    Orang yang belum dewasa
b.    Mereka yang ditaruh dibawa pengampuan
c.    Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus poin “c” di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian.

3. Adanya Objek Perjanjian
    Adanya objek perjanjian atau suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.
    Objek perjanjian berupa benda/barang dan jasa. Benda (zaak) menurut pasal 503 dan 504 KUHPerdata ada benda berwujud dan tidak berwujud dan ada yang bergerak dan tidak bergerak.

4. Sebab yang Halal
    Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 KUHPerdata.  Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu perjanjian  sah. Mengenai syarat ini, pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi, yang dimaksud dengan sebab dari suatu perjanjian adalah isi perjajian itu sendiri.
    Selanjutna dalam pasal 1336 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jika tidak dinyatakan suatu sebab tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian adalah sah”.  Jadi, jelas dapat kita lihat bahwa memang pada dasarnya undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu, yang ada diantara pihak.
    Adanya sebab yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketirban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjajian. Yang diperhatikan oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai.